Posted in Coretan, Opini

Am I Ready for Marriage?

Belum lama ini beberapa teman menceritakan sepotong kisah hidupnya ke saya. Pembahasannya tak jauh dari salah satu pengalaman baru saya, yakni menikah.

Di antara mereka ada yang bela-belain datang ke Bekasi sehari sebelum acara pernikahan. Ada juga yang cerita ketika menemani saya booking tempat penginapan. Pun ada pula yang berkunjung dan mencari saya untuk sharing seputar satu ini, pernikahan.

Pada dasarnya saya hanyalah telur yang baru menetas untuk hal itu. Usia pernikahan saya masih terlalu muda tuk menjawab pertanyaan yang teman-teman ajukan. Dan saya kira akan sangat panjang bila kita mau mengupas satu per satunya.

Namun di lain sisi saya merasa terpanggil menulis ini. Bagaimana bisa teman kita sudah memercayakan sebagian kisahnya tapi respon kita begitu singkat dan seakan tak ada yang bisa “dibawa pulang”? Semoga sedikit pengalaman dan wawasan yang akan tertoreh nanti bisa mencerahkan, ya. ๐Ÿ™‚

Saya akan mengawali bagaimana salah satu fuqoha kita, Imam Syafi’i rahimakumullah berbicara soal hukum menikah dalam Islam. Ternyata hukumnya tidak hanya sunnah, tapi juga ada wajib, makruh dan haram.

Ia sunnah ketika seseorang sudah merasa perlu dan punya uhbah (biaya untuk mahar, kiswah, nafaqoh). Jika seseorang itu belum memiliki uhbah maka sebaiknya tidak menikah. Dan Rasulullah telah menyampaikan bahwasanya puasa mampu menjaga nafsu kita dari hal-hal yang haram.

Ia bisa menjadi wajib, yaitu ketika seseorang takut akan terjerumus kepada zina. Ia bisa juga menjadi makruh bagi yang tidak merasa perlu menikah pun tak punya uhbah. Bagian ini dicontohkan seperti kakek/nenek yang sudah terlalu tua. Dan terakhir, menikah bisa menjadi haram apabila seseorang yakin tak mampu menjalani hak-kewajiban berumah tangga.

Dari perincian ini yang kemudian membuat saya berpikir, betapa Imam Syafi’i begitu detail memetakan hukum menikah. Sedangkan kita yang bukan fuqoha, bukan hafizh, bukan ulama, kenapa masih suka tergesa-gesa menentukan keputusan menikah. Kadang masih suka berangkat dari kebaperan melihat teman-temannya lebih dulu menikah, atau kondisi futur yang ujug-ujug menilai diri kita sudah butuh “teman”. Hm. Tak semudah itu, Ferguso. ๐Ÿ˜

Kesiapan menikah memang tidak punya barometer tertentu. Ia tidak bisa diukur hanya dari suatu keahlian apalagi usia. Namun setidaknya ada beberapa poin yang perlu kita raba kembali tuk menjawab, “Am I ready for marriage?”

1. Apa Ekspektasimu dari Pernikahan?

Kekecewaan dalam pernikahan bisa saja terjadi jika apa yang kita ekspektasikan tidak sesuai dengan kenyataan. Cobalah jujur terhadap diri sendiri, menurut kita bagaimana sih pernikahan yang sukses itu?

Jika kita berharap menikah berarti terlepas dari tanggung jawab, namun setelah menikah kita mendapat tanggung jawab yang lebih banyak, maka di sana akan terjadi masalah.

Jika kita berharap menikah berarti bisa menghabiskan setiap pekan untuk quality time bersama pasangan, tapi setelah menikah malah punya agenda sendiri-sendiri, itu juga berpotensi menjadi masalah.

Cobalah bertanya pada diri sendiri apakah dengan menikah mampu meningkatkan hidup kita jadi lebih baik? Jika alasan dan harapan menikah kita dengan pasangan ternyata belum sejalan, mungkin kita belum bisa dikatakan siap menikah.

2. Bagaimana Kamu dan Pasangan Mengatasi Ketidaksepakatan?

Dulu saya pernah dikenalkan dengan seorang pria. Ia meminta orang lain tuk menghubungi saya dan menyampaikan niatnya yang ingin ta’aruf dengan saya. Saat itu saya belum tau apa-apa dan hanya ikut apa kata perantara.

Oke, tibalah di suatu poin yang membuat saya tidak sepakat dengan pilihannya. Ketidaksepakatan itu tentu berdasarkan ilmu dan keyakinan yang sudah saya pegang selama ini. Saya sampaikan baik-baik, bahwa prinsip saya berbeda. Saya kira pria itu bisa paham dan setidaknya mengambil jalan tengah, tapi justru dia menimpali pendapat saya dengan opini yang tak berdasar.

Baiklah, esoknya saya coba kirim artikel dan beberapa rujukan lain sebagai alasan saya berbeda pandangan dengannya. Tapi pria itu tetap tidak menerima, bahkan perantara pun setuju dengan dasar saya dan mengingatkan saya untuk perbanyak lagi doanya, semoga Allah hadirkan ketenangan jika lanjut atau tidaknya proses perkenalan tersebut.

Alhamdulillah pada saat itu saya kira saya belum siap menikah. Saya belum bisa menerima perbedaan pilihan tersebut pun sebaliknya.

Dari sini saya belajar, dulu saya takut mengatakan tidak dalam hal ini. Saya kira jika seorang Iaki-laki datang maka harus diterima. Saya kira proses menuju pernikahan itu akan mudah. Yang penting yakin aja sama Allah siapa pun yang datang. Tapi ternyata bukan begitu. Kenapa Islam memberikan hak kepada perempuan untuk menerima atau menolak? Kenapa sebagian ulama menjadikan persetujuan perempuan termasuk syarat pernikahan?

Dari cerita ini saya juga belajar, ketika seorang perempuan sudah “didatangi”, ketika itu pula harusnya ia lebih aware dengan perjalanan hidupnya. Mulai lagi menengok kondisi hati, bagaimana ia telah melalui hari-hari, dan bagaimana ia akan meneruskan perjalanan di sisa umurnya. Mulai belajar bagaimana menyambut kehidupan pernikahan. Agar ketika Allah datangkan laki-laki yang tepat, kita sudah siap dengan versi terbaik kita.

Bersambung …

Posted in Coretan, Renungan

Sebening Aynaย 

Sebuah ulasan Novel Best Seller Bidadari Bermata Bening karya Habiburrahman El Shirazy.

Seperti Fathimah, semasa santrinya, Ayna menjadi khadimah Bu Nyai di pesantren. Bangun di saat yang lain masih terlelap demi menyiapkan sahur atau sarapan santriwati. Pergi berbelanja kebutuhan dapur hingga kebutuhan pribadi Bu Nyai. Kadang Ayna juga mengajak cucu Bu Nyai agar mau mengerjakan tugas sekolahnya dengan senang hati. Hingga sesekali menggantikan Kang Bardi mencuci pakaian Gus Afif, putra kedua Bu Nyai yang diam-diam Ayna kagumi. 

Seperti Aisyah, meskipun memegang amanah sebagai khadimah, di akhir masa sekolahnya, Ayna mendapat nilai UN tertinggi bidang IPS se-Provinsi Jawa Tengah, dan tertinggi nomor sepuluh tingkat nasional. Tidak berakhir di situ, selulus pesantren, hidup Ayna penuh ujian dan cobaan. Ujian keluarga, cinta, harta, seakan ombak yang terus bergantian menerpa pijakan Ayna. Tapi cara pandang dan keyakinanannya akan takdir Allah begitu menguat menambah kejelitaannya. 

Seperti Asiyah, menjaga kesucian adalah hal yang paling utama bagi Ayna. Pernikahannya (bisa dikatakan secara paksa) dengan Yoyok tidak kemudian meruntuhkan kemuliaan Ayna. Bagaimana bisa, seorang gadis jelita lulusan terbaik pesantren menikah dengan putra salah satu orang terkaya di Kabupaten Grobogan, sekaligus biangnya kemungkaran di Purwodadi? Begitu pandangan tetangga-tetangga Ayna. Namun Ayna punya cara tersendiri melaluinya. Bukankah doa-doa Asiyah terabadikan dalam Al Quran meskipun ia seorang istri Fir’aun? 

Seperti Khadijah, ujian demi ujian yang Ayna hadapi mengantarkan ia kepada Bu Rosidah, Direktur perusahaan ternama di Bogor. Perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan kebugaran dan kesehatan, memiliki dua puluh lima cabang di sepuluh kota besar Indonesia. Ayna meneguk ilmu dan pengalaman bisnis langsung dari mata airnya. Hingga Ayna berhasil mendirikian perusahaan roti dan rumah peduli anak jalanan yang dinamai Bayt Ibnu Sabil. 

Jika di Ayat-Ayat Cinta penulis menciptakan tokoh ideal laki-laki bernama Fahri, maka di Bidadari Bermata Bening kita temui sosok muslimah ideal dalam diri Ayna. Keempat perempuan mulia yang Nabi sabdakan kelak menjadi sebaik penghuni Surga. 

โ€œSebaik-baik wanita penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah istri Firโ€™aun.โ€ (HR Ahmad)

Yang sempurna dari kaum lelaki sangatlah banyak, tetapi yang sempurna dari kaum wanita hanyalah Maryam binti Imran, Asiyah binti muzahim, Khadijah binti khuwailid dan Fatimah binti Muhammad. Sedangkan keutamaan Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid (roti yang diremukkan dan direndam dalam kuah) atas segala makanan yang ada.โ€ (HR Bukhari)

Saya tidak berhobi membaca novel. Namun di satu kesempatan, saya merasa butuh mengkaji ulang bagaimana wanita-wanita mulia bisa meneguhkan hatinya dari berbagai cobaan. Penjagaan hati yang merapuh, kemanfaatan yang memudar, kejelitaan etika yang mengeruh, membuat pribadi ini tenggelam dari cahaya kesholihahan. Dan benar, terkadang cerita fiksi menjadi satu cara yang ampuh tuk menggambarkan fakta. Realita yang sebetulnya bernafas lama di kehidupan kita. Tapi diri sering tidak sadar karena menganggapnya hal biasa. 

Ditambah, novel ini saya dapatkan secara gratis, alhamdulillah ๐Ÿ˜

Bidadari Bermata Bening tidak hanya menjadi motivasi, tapi penulis juga mampu memasukkan beberapa hukum-hukum fiqh dengan apik dalam alur ceritanya. Seperti contoh siapa yang berhak menjadi wali dalam pernikahan, bagaimana muamalah dengan kerabat yang bertentangan, dan yang terpenting, bagaimana meneguhkan penjagaan dan hati yang saling mencintai. 

Semoga keberkahan melimpah bagi penulis Bidadari Bermata Bening, pembaca, pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan dan pendistribusian, serta siapa pun yang mau mengambil ibroh darinya. Juga untuk segenap sholihaat di mana pun berada, semoga kita menjadi Bidadari dunia dan Surga. 

Posted in Opini, terjemahan

โ€‹The Marriage Proposal: Tips to Make the Decision Easierย 

Dalam perjalanan menuju halal, kita temukan laki-laki cenderung menjemput dan perempuan menerima. Tapi keduanya tak lepas dari satu keharusan, yaitu memilih. Bagaimana seorang laki-laki bisa mantap menentukan gadis sebagai pilihannya, pun bagaimana sebagai perempuan meraba rasa “sakan” untuk menerima atau menolak. Tentu bukan pilihan yang mudah. Setidaknya ada beberapa kiat bagaimana membuat keputusan itu mudah, semoga. 

1. Pahami Niat dan Ber-istikharahlah 

Pintalah dalam keadaan sadar, tulus, dan serius. Maksudnya seperti apa? Ketika kita melihat diri telah siap, maka kita dalam keadaan sadar meminta Allah tuk hadirkan seseorang. Bukan karena bosan hidup atau hendak lari dari sebuah permasalahan. Sejatinya kita sadar, kita siap akan amanah-amanah lebih besar setelah pernikahan.

Dengan demikian kita bisa lebih tulus dan serius meminta kepada Allah. Lintasan pikiran manusia saja Allah mengetahui, maka bagaimana pahamnya Ia mendengar hamba-Nya yang benar-benar berharap.Yakinlah tak ada kata menyesal jika kita melibatkan Allah di setiap keputusan urusan hidup kita. 

2. Mengajukan Pertanyaan Cerdas 

Tanyakan bagaimana hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Hal-hal apa yang bisa membuatnya marah dan kecewa serta bagaimana mengatasinya. Dari sini kita akan mudah memahami bagaimana calon pasangan kita memandang pembagian tugas di keluarga kelak. Apakah sejalan dengan yang kita pahami? Jika tidak, bagaimana menyelaraskannya? Kita juga bisa sedikit mengenal bagaimana ia mengontrol emosinya melalui pertanyaan tadi. 

Tidak hanya soal pribadi. Kita juga perlu menanyakan perihal pendidikan dan pola asuh anak. Bukan membahas terlalu jauh. Tapi dari sini kita juga terbantu mengenal calon pasangan kita. Secara umum saja. Setidaknya bagaimana masing-masing kita mengenal peran sebagai orang tua kelak. 

Selain pertanyaan di atas, kita boleh menanyakan hal-hal lain yang dengan melalui jawabannya, kita cukup yakin meraba apakah dia orang yang Allah kirimkan sebagai jawaban doa-doa selama ini? 

3. Menjaga Ketaqwaan di Setiap Langkah 

Bagaimana bisa menuai berkah jika menjemputnya saja kita tak menjaga nilai-nilai ketaqwaan. Apa sih, ketaqwaan itu? Dari sekian banyak penjelasan, pada intinya taqwa ialah ketika seorang muslim takut akan murka Allah. Lalu dengan cara apa ia menjaga dirinya? Ittibaa’u awaamirihi wa ijtinaabu nawaahiihi, dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 

Apa hubungannya dengan memudahkan kita menentukan keputusan? Jika Allah ridho akan perbuatan-perbuatan (mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya), lantas apa mustahil Ia mencintai kita? Bahkan jika kita datang membawa tumpukan dosa Allah masih cinta sebab taubat kita. 

Ketika kita berusaha tuk membatasi komunikasi, bersikap baik meminta izin kepada orang tua atau wali, belajar hal-hal baru mempersiapkan pribadi lebih baik lagi, menjaga diri dari kelalaian-kelalaian meski sesaat, terus mendekat kepada Allah dan melibatkan-Nya. 
Selamat memaksimalkan ketaqwaan! 

4. Jangan Memaksakan Diri

Someone can be perfect, but is not perfect for you. Sebagai manusia, kita tidak salah menentukan kriteria pasangan hidup. Justru dengan adanya kriteria bisa membantu kita mengupayakan memilih yang baik. Tapi terkadang kriteria itu menjadi harapan atau bahkan delusi. Tak sedikit kita yang patah hati, malah minder ketika harapan tak bersambut kenyataan. Maka kita perlu kembali meyakini bahwa seseorang bisa saja kita anggap sempurna, tapi dia tak sempurna untuk kita. 

Lalu muncul pertanyaan apa kita tidak sempurna (dalam maksud lain: baik), sehingga kita tak disandingkan dengan yang menurut kita baik? Kualitas baik-buruk Allahu a’lam, Allah yang bisa nilai itu. Jika memang mutlak baik dengan baik serta buruk dengan buruk maka tak ada kisah tauladan Asiyah bersanding Fir’aun dan Nuh juga Luth yang diuji pasangan hidup tak berbakti. Sedangkan maksud pesan baik dengan baik dan buruk bertemu buruk adalah satu targhib (motivasi) tuk terus berupaya menjaga diri dalam kebaikan. 

Selain dari itu, tidak memaksakan juga berarti mencukupkan apa-apa yang kita rasa. If you don’t feel comfortable or attracted to him, that’s a good enough reason to reject. Memang, perasaan  tidak nyaman atau tertariknya kita bukan kemudian menjadi standar dia bukan pasangan kita. Kita perlu berdiskusi dengan hati, orang-orang terpercaya, dan tentu menguatkan musyawarah dengan Allah. Namun jangan memaksakan diri. 

Sebagian kita mungkin merasa tidak enak menolak. Apalagi sebagai perempuan. Lalu kita memaksa menerima ketidaktertarikan itu dengan alasan tak boleh menolak pria baik. Wah, padahal salah satu pesan Nabi tuk menerima tawaran pernikahan adalah baik agamanya dan kita suka dengan kepribadiannya. Anjuran tidak menolak orang baik pun bukan ditujukan pada kita, melainkan untuk wali kita. 

Semoga kita memiliki hati-hati yang stabil tuk meraba keputusan, ya. ๐Ÿ™‚

5. Gunakan Waktu-waktu Ini untuk Lebih Mendekatkan Diri ke Allah 

Sebagaimana poin pertama dan ketiga. Kita tak bisa melalui hari-hari ini tanpa petunjuk Allah. Pernikahan bukan urusan ringan yang cukup diikhtiarkan dengan fisik atau perasaan belaka. Tapi kesiapan spiritual, intelektual, finansial, mental, sosial, menjadi setumpuk yang kita tahu, dalam perjanjiannya saja mengguncang Arsy langit. Ini urusan berat. 

Maka begitu naif jika di masa-masa menentukan keputusan kita malah lalai dan jauh dari Allah. Jika demikian, mungkin kita perlu kembali menanyakan sebenarnya apa tujuan menikah. 

6. Senantiasa Memperbarui Niat 

Menyambung poin sebelumnya, perihal menjaga niat agar tetap-semakin baik. Di awal kita sudah menyinggung pembicaraan niat ini. Hanya saja hati tercipta dengan sifatnya yang mudah berbalik. Mungkin di tengah jalan keinginan menikah kita menjelajah ke mana-mana. Maka terus memperbarui niat semoga menjadi penjaga yang menguatkan. 

Jika sebelumnya kita cukup memiliki tujuan menikah agar menjaga kesucian, tambah niatnya. Rancang capaian yang lebih luas. 

Berkolaborasi tuk memaksimalkan manfaat bagi sekitar, menambah silaturrahim, menjadi perkembangan peradaban, dan tentunya tujuan ibadah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. 

Sebaliknya ketika di perjalanan kita melirik pernikahan sebagai ajang memewahkan acara, menaikkan gengsi, atau kesenangan-kesenangan yang sifatnya semu, tepis segera lirikan itu. Perbarui kembali niat-niat kita. Semoga kesenantiasaan menjaga tujuan baik menikah semakin melapangkan hati dan pandangan kita tuk menentukan keputusan terbaik. 

Demikian enam poin kiat mudah membuat keputusan. Poin-poin di atas berinduk dari satu poster Productive Muslim yang kemudian penulis kembangkan penjabarannya. I hope this will give you clarity. Semoga catatan seadanya ini cukup mencerahkan ya. Yang sesuai moga menginspirasi dan yang tidak sesuai moga tak bermasalah. ๐Ÿ˜€ 

Best gratitude! ๐Ÿ™‚

|| Jakarta, 120817 

Posted in Coretan, Opini

Tetaplah Jelita

Setiap perempuan menyimpan kecantikannya masing-masing. Cantik yang bukan sebatas rupa. Tapi cantik yang jelitanya mampu dirasakan orang-orang sekitarnya.

Dengan optimisnya, ia redakan tangisan anak-anak pelosok pulau yang kehilangan ibu bapak, lalu mengukir tawa dan cinta untuk mereka.

Dengan sabarnya, ia menjadi perempuan pertama yang dicari ketika seorang nenek ingin bercerita, meski ceritanya berkali-kali sudah ia sampaikan. Sabar itu tetap mendengarkan.

Bersama tunduk malunya, ia simpan rasa-rasa kagum dan bangga akan keberhasilan dan kebahagiaan teman-teman seperjuangannya. Cukup doa-doa baik yang tersalurkan untuk mereka yang ia cinta.

Bersama ceria dan ungkapan-ungkapannya, ia bebincang hangat dengan saudara dan keluarganya, menjadi pelipur kala lara, menjadi pengingat kala lupa.

Dengan kepandaiannya, ia selamatkan mimpi-mimpi mereka yang hampir putus asa. Merunduk dan berbisik pelan mensyukuri pencapaian-pencapaiannya, namun bersorak bahagia memberi selamat mereka yang meraih harapannya.

Ya, setiap perempuan memiliki kecantikan masing-masing. Dan yang menjadikan ia jelita serta pesona adalah bagaimana ia menuai kebermanfaatan melalui peran-perannya.

Ia bukan berarti tak pernah jatuh. Tapi ia mampu bangun meski luka-luka menggores kehidupannya.

Ia bukan berarti tak pernah marah. Tapi kasih sayangnya yang terbilang lebih meredakan kecewa-kecewa dalam hati.

Ia bukan berarti tak pernah salah. Tapi malunya berkali-kali menegur dan mengajak diri untuk terus menginsafi lalai-lalai.

Ia bukan berarti pemilik followers dan likes terbanyak di seantero sosial media. Tapi yang pedulinya meluas menyapa mereka yang membutuhkan, hingga menghadapi realita lebih ia syukuri.

Ia juga bukan penerima sanjungan dari sana-sini. Tapi doa dan nasihat orang-orang yang tulus menyayanginya cukup menjadi penguat diri dan inspirasinya.

Ia adalah sebaik perhiasan, jika iman menjadi muara jiwanya, takwa sebagai pakaiannya, dan sholihah merupa perangai akhlaknya.

Maka bagi para perempuan, cukupkan kekhawatiran-kekhawatiran yang menghambatmu serta tetaplah jelita. Tetaplah menjalani hidup ini sepenuh syukur dan kesabaran.

|| Salam manis, 050716

Posted in Artikel, Opini, Renungan, terjemahan

Pesan Cinta untukmu, Perempuan

Artikel ini didedikasikan untuk semua muslimah single di dunia. 


Berawal dari beberapa fenomena di zaman ini, yang mana tak jarang kita temukan โ€œkekhawatiranโ€ perempuan akan calon pendamping yang tak kunjung datang. Ya, ada masa di mana pikiran dan hati terus bertanya-tanya, kapan, siapa, seperti apa, bagaimana, dan kegundahan lain yang kerap menyapa. Lalu seketika berbagai kritikan menimpali,

.
“Kamu tidak perlu seorang pria untuk menjadi bahagia!” 

“Bagaimana bisa kamu merasa kesepian? Kamu memiliki keluarga yang penuh kasih sayang dan banyak teman.”

“Berhenti terobsesi tentang pernikahan! Fokus pada diri sendiri dan karir kamu!”

.
Sebagian perempuan mungkin merasa benar dengan opini di atas dan mengubur kembali kekhawatiran tersebut. Namun tak dipungkiri juga bahwa sebagian besar justru merasa tidak terdukung. Apalagi sifat malu yang membalut kepribadian perempuan. Ia tentu malu untuk meminta (meski pada dasarnya tidak masalah) terlebih dahulu ibadah mulia satu ini.

Dari sini, ada baiknya kita memahami perasaan. Menyudut mengoreksi  yang ada. Apakah ia salah? Adakah hadirnya merupa kesiapan, atau sekadar ingin menyudahi masa sendiri dan berharap lari dari tanggung jawab yang ada dengan menikah? 

.
Memahami Kasih Sayang dan Rahmat dalam Islam
Tidak ada yang salah ketika kita rindu memulai sebuah keluarga. Sebagaimana kita berkaca pada kehidupan Nabi Adam ‘alaihis salam yang kala itu berada di surga. Surga, di mana semuanya sempurna; tidak ada kesedihan, kemiskinan, sakit, semua yang kita minta, ada. Lalu, apa yang kemudian Allah ciptakan untuk Adam? Saudara, anak, atau teman bermain? Ternyata Allah menghadirkan sosok perempuan untuk Adam. 

.
Dari awal, Allah menyusun kehidupan manusia dengan kisah romantis. Bagaimana saling melengkapi dan mendapatkan kesempurnaan, bagaimana saling mengasihi dan menghadirkan kebahagiaan, bagaimana saling mempercayai dan melahirkan ketenangan.


“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir.” [QS. 30:21].

Ternyata kehadiran lawan yang  kemudian membuat kita berarti. Seperti dingin yang terasa maknanya ketika kita merasakan panas. Putih yang terlihat jelas ketika kita berada dalam hitam gelap. Kita perlu siswa untuk merasa bagaimana menjadi guru. Kita perlu kesedihan untuk menghargai momen bahagia. Anak yang mampu membuat kita merasa seorang ibu, dan laki-laki yang bisa membuat kita merasa seorang wanita. Fakta psikologis berkata demikian. Pun logika menerima rasa butuh akan lawan itu. Dan harusnya teori ini mampu menolak pandangan kaum feminis yang mendewakan perempuan tapi hakikatknya menjauhkan perempuan dari fitrah kewanitaan itu sendiri.

.
Kita semua perlu memiliki pendamping untuk melengkapi kehidupan kita, seseorang yang mencintai dan membuat kita merasa dicintai dan dilindungi, seseorang untuk memulai sebuah keluarga. Sebagaimana Allah menciptakan kita secara berpasangan, dan itu merupakan kebutuhan dasar yang indah. Mahabijak Allah dalam penciptaan-Nya, bukan? Kerinduan untuk menikah dan memiliki anak tidak lantas membuat wanita terbelakang,  lumpuh, bodoh atau putus asa, melainkan itu membuatnya menjadi seorang wanita.

.
Betapa banyak gadis yang memiliki orang tua, teman, dan karier, namun masih merasa hampa. Merasa kesepian namun sulit mengakuinya. Hal yang seperti ini lambat laun menjadikan wanita takut, kehilangan identitas, dan depresi. Jadi sudah waktunya untuk mencoba tenang dan katakan pada diri sendiri, โ€œMasa depan kita akan baik-baik saja dengan senantiasa merencanakan yang baik pulaโ€.

.

 
Apakah Menikah Sebagai Pelarian dari Penderitaan & Kesepian?
Jangan salah, kadang kita merasa kesepian ketika kita tidak sedang sendiri. Kadang pula ada kebahagiaan dan harapan untuk kembali menjadi gadis. Ada banyak perempuan di luar sana yang ingin beralih posisi ke masa sebelum menikah, mendapatkan kembali kesempatan untuk memperbaiki diri dan memoles kepribadian.  Atau setidaknya memiliki kontribusi untuk melawan penderitaan dan kesepian tersebut. Baik bagi diri sendiri pun orang lain. Dengan demikian, jiwa akan terlatih untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa datang.

.
Menikah memang membahagiakan. Bahkan bahagianya tidak hanya berhenti pada pasangan yang merayakannya. Namun bukan hal yang tepat ketika kita menjadikan menikah solusi permasalahan hidup. Apalagi jika kita mengkhayal kehidupan berumah tangga seperti akhir pada dongeng-dongeng; dan mereka hidup bahagia selama-lamanya.

.
Menikah adalah tentang kesiapan menerima kekurangan. Karena bagaimanapun, manusia tidak senantiasa lepas dari kealpaan. Maka yang terpenting bukan hanya mengharap pasangan begini dan begitu, tapi juga persiapan bagaimana jika pasangan begini dan begitu. Toh, menikah merupakan satu pintu menuju ridho Allah. Jika kita mengawalinya dengan niat bukan karena-Nya, bagaimana pintu itu terbuka?

.
Permasalahan apa pun, coba diatasi terlebih dahulu. Pusing skripsi, bosan kuliah, lelah mengerjakan tugas-tugas harian, mengerjar mimpi yang semakin dikejar semakin menjauh, komunikasi dengan orang tua yang sering berujung ketidaksepakatan, masa depan yang masih samar, berbagai kesulitan, harusnya kita bisa melaluinya terlebih dahulu sebelum beranjak kepada tingkat yang lebih tinggi yang sepaket dengan ujian-ujiannya. 

.
Seperti pepatah Arab, “Siapa yang tidak memiliki, tidak bisa memberikanโ€. Kita tidak pernah bisa mencintai dan merawat orang lain jika kita tidak mencintai dan merawat diri kita terlebih dahulu. Bagaimana bisa membantu keluarga menyelesaikan persoalan jika untuk sekarang saja kita putus asa? Bagaimana kita berharap keindahan dan kedamaian di keluarga kelak, sedang kita tidak membawa kedamaian itu dari kita sendiri? 

.
Belajar Cara Memegang Kunci Kebahagiaan
Sudah menikah atau belum, menempatkan kunci kebahagiaan kita di saku orang lain tidak tampak seperti ide yang cerdas, bukan? Kita tidak bisa bergantung pada suami, atau bahkan daging dan darah kita sendiri (baik itu orang tua, saudara atau anak-anak) untuk membuat kita bahagia.
Jelas sudah Allah berfirman,

.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” [QS. 14:7]



Mungkin itulah inti dari masalah; kita biasa memiliki pandangan โ€œJika saya memiliki ini, saya akan senangโ€. Bagaimana jika kita balik, โ€œJika saya senang, saya akan memiliki iniโ€? 

.
Bagaimanapun orang-orang terkasih kita berada di sisi, bagaimanapun mereka menghadirkan kebahagiaan kita, tetap sejatinya tidak ada yang benar-benar bisa membuat kita bahagia kecuali diri kita sendiri; ketika kita memiliki sikap indah terima kasih kepada Allah, Rabb segalanya. 

.
Kita mencari kebahagiaan di langit, padahal langit tidak memiliki ujung. Kita ingin seperti dia yang memiki pasangan seperti ini. Kita mau pasangan kita bisa ini itu. Kenapa yang datang kepada saya dia? Dia tidak lebih baik dari yang saya harapkan, dan perbandingan-perbandingan lainnya. Maka menyelamlah ke lautan, karena ia memiliki dasar. Tengoklah apa yang kita dapati berupa nikmat-nikmat Allah. Dan temukanlah bahwa kita sudah mempunyai segalanya.

.
Syukur, akan kesempatan yang masih Allah bentangkan agar kita senantiasa mempersiapkan bekal menuju hari esok, entah pernikahan, ataupun kematian. Syukur, akan kesempatan berkeluarga yang Allah anugerahkan, tak lain agar kita kerap meninggikan cinta dan amal sholih kepada-Nya lebih semangat lagi.

 
Maka di penghujung tulisan ini, saya mengajak para perempuan di mana pun berada, jika kekhawatiran menghampiri, mari coba pahamkan diri sendiri dengan apa yang telah tersampaikan di atas. Memulai dari memahami fitrah perasaan wanita dalam mencintai dan merindu. Lalu beranjak pada pemahaman tujuan mengapa kekhawatiran itu datang, kemudian berakhir pada kebahagiaan yang mampu kita hadirkan dengan mensyukuri nikmat Allah yang melimpah atas apa pun peran kita sebagai perempuan. Salam hangat.

Note: artikel ini diambil dari tulisan berjudul All The Single Ladies: An Exclusive Love Talk For You dengan penerjemahan bebas ala penulis, dan beberapa poin-poin tambahan secukupnya.

Posted in Artikel, Syariah

Perjanjian Hudaibiyah dan Peran Perempuan

Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara Muslim Madinah dengan Musyrikin Makkah (Quraisy). Saat itu, tepatnya di tahun ke enam setelah hijrah atau 628 M, kaum muslimin hendak melaksanakan thawaf di Baitullah Al-Haram. Bersama Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi was sallam sekitar 1400 orang dan 70 ekor unta yang dijadikan sebagai hadyu (hewan yang disembelih dalam rangka ibadah haji atau umrah). Namun di pertengahan jalan, Quraisy menghalang-halangi Rasulullah beserta sahabatnya untuk masuk ke Makkah. Melihat demikian, Rasulullah bernegosiasi dan tertulis lah Perjanjian Hudaibiyah yang isinya:

  1. Gencatan senjata antara Makkah dan Madinah selama 10 tahun
  2. Warga Makkah yang menyebrang ke Madinah tanpa izin walinya harus dikembalikan ke Makkah
  3. Warga Madinah yang menyebrang ke Makkah tidak boleh kembali ke Madinah
  4. Warga selain Makkah dan Madinah dibebaskan memilih untuk berpihak ke Makkah atau Madinah
  5. Pada saat itu, Rasulullah dan pengikutnya harus meninggalkan Mekah, namun diperbolehkan kembali lagi ke Mekah setahun setelah perjanjian itu, dan akan dipersilahkan tinggal selama 3 hari dengan syarat hanya membawa pedang dalam sarungnya (maksudnya membawa pedang hanya untuk berjaga- jaga, bukan digunakan untuk menyerang)

Singkat kisah, bila kita melihat isi Perjanjian Hudaibiyah, keberuntungan lebih berpihak kepada Quraisy sedang Muslimin kala itu dibiarkan tidak berangkat thawaf. Saat itu, setelah Rasulullah menandatangani perjanjian, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk menyembelih hadyu sebagai pengganti kewajiban haji yang ditinggalkan dan bertahalul dari ihram mereka.

Akan tetapi semangat Diin para sahabat masih menyala hebat dalam diri. Perjanjian menghalangi mereka dari thawaf ke Baitullah. Kerinduan dan semangat itu memudarkan penglihatan mereka akan hikmah di balik perjanjian ini; yakni bagaimana Allah menjadikan perjanjian ini isyarat kemenangan Islam dan pembebasan kota Makkah. Melihat para sahabat yang tidak melaksanakan perintahnya, Rasulullah masuk ke tenda menemui istri beliau, Ummu Salamah.

Ummu Salamah paham bagaimana kondisi Rasulullah yang selama ia diutus, tidak ada sahabat yang tidak mendengarkan apa yang beliau perintahkan. Dan kali itu, kesabaran Rasulullah diuji dengan sikap sahabat-sahabatnya. Bukan sebab bangkang atas titah Rasulullah, tetapi dari sini tercermin bagaimana iman akan kebenaran Islam yang mereka yakini menancap kuat di jiwa mereka.

โ€œWahai Rasulullah,โ€ sapa Ummu Salamah, โ€œjanganlah engkau menyalahkan mereka, perjanjian itu begitu besar menghujam sanubari mereka. Mereka keberatan dengan perjanjian itu dan keberatan juga kembali pulang ke Madinah tanpa memasuki Makkah sama sekali,โ€

โ€œWahai Nabi Allah, keluarlah, jangan bicara kepada seorang pun di antara mereka, lalu sembelih lah binatang hadyu-mu, serta cukurlah rambutmu,โ€ usul Ummu Salamah. Rasulullah pun melaksanakan saran Ummu Salamah, lantas kaum muslimin bergegas mengikuti beliau. Mereka menyembelih binatang hadyu dan mencukur rambut mereka.

Melihat kejadian ini, teringat akan hadits Nabi dalam riwayat Bukhori dan Muslim, Rasulullah bersabda,

ู…ูŽุง ุฑูŽุฃูŽูŠู’ุชู ู…ูู†ู’ ู†ูŽุงู‚ูุตูŽุงุชู ุนูŽู‚ู’ู„ู ูˆูŽุฏููŠู†ู ุฃูŽุบู„ูŽุจู ู„ูู„ูุจูู‘ ุงู„ุฑู‘ูŽุฌูู„ู ุงู„ู’ุญูŽุงุฒูู…ู ู…ูู†ู’ ุฅูุญู’ุฏูŽุงูƒูู†ู‘ูŽ. ููŽู‚ููŠู„ูŽ: ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‡ูุŒ ู…ูŽุง ู†ูู‚ู’ุตูŽุงู†ู ุนูŽู‚ู’ู„ูู‡ูŽุงุŸ ู‚ุงูŽู„ูŽ: ุฃูŽู„ูŽูŠู’ุณูŽุชู’ ุดูŽู‡ูŽุงุฏูŽุฉู ุงู„ู’ู…ูŽุฑู’ุฃูŽุชูŽูŠู’ู†ู ุจูุดูŽู‡ูŽุงุฏูŽุฉู ุฑูŽุฌูู„ูุŸ ู‚ููŠู„ูŽ: ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‡ูุŒ ู…ูŽุง ู†ูู‚ุตูŽุงู†ู ุฏููŠู†ูู‡ูŽุงุŸ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ุฃูŽู„ูŽูŠู’ุณูŽุชู’ ุฅูุฐูŽุง ุญูŽุงุถูŽุชู’ ู„ูŽู…ู’ ุชูุตูŽู„ูู‘ ูˆูŽู„ูŽู…ู’ ุชูŽุตูู…ู’

โ€œAku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya paling bisa mengalahkan akal lelaki yang kokoh daripada salah seorang kalian (kaum wanita).โ€ Maka ada yang bertanya, โ€œWahai Rasulullah, apa maksudnya kurang akalnya wanita?โ€ Beliau menjawab, โ€œBukankah persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki?โ€ Ditanyakan lagi, โ€œYa Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?โ€ โ€œBukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?โ€, jawab beliau. (Muttafaqun โ€˜alaih, HR. Bukhari no. 1462 dan Muslim no. 79)

Sebagian kalangan menganggap hadist tersebut mengandung penghinaan terhadap perempuan. Akan tetapi sejatinya justru hadist itu menjelaskan kepada kita kepribadian perempuan dari sudut pandang penciptaannya. Perempuan biasanya dikuasai perasaan. Ini bukan lah suatu aib. Melainkan keadaan khas yang sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan. Perempuan cenderung mencurahkan kasih sayang dan empati ketimbang mengeksplorasi otak dan kecerdasan akalnya. Bisa dilihat dari upaya-upaya kesehariannya, misal tulisannya, perempuan lebih suka membahas perasaan daripada teori atau hukum suatu ilmu. Perempuan punya potensi besar untuk mengusap keletihan dan kesedihan anggota keluarganya. Semua tugas yang tidak bisa dikerjakan sempurna dengan kecerdasan akal tetapi hanya bisa dituntaskan dengan perasaan.

Dan sejarah Perjanjian Hudaibiyah turut mengabarkan, jika kecerdasan akal Ummu Salamah dianggap kurang (artinya akalnya tidak dapat berpikir secara sempurna), niscaya Rasulullah tidak menerima sarannya dalam urusan yang sedemikian berat dan krusial.

Dengan demikian, kurang akal dalam hadist itu memiliki makna bahwa perempuan mengerjakan banyak hal yang akal tak mampu melakukannya, karena ia mengerjakannya dengan perasaan. Andaikata perasaan perempuan tidak lebih kuat daripada akalnya, mungkin ia tidak akan sanggup berjaga sepanjang malam ketika anaknya sakit. Andaikata perasaan perempuan tidak lebih kuat daripada akalnya, mungkin ia takkan mampu bertahan menanggung hidup bersama suami dan anak-anaknya kala ujian menerpa, belum lagi memanggul โ€˜bebanโ€™ mendidik anak dengan segala kesulitannya.

Maka dari kisah Ummu Salamah di Perjanjian Hudaibiyah, kita mengerti, ada peran perempuan cerdas di dalamnya. Menenangkan, memenangkan, menunjukkan, dan mempertahankan.

Pada akhirnya, kita terus meminta petunjuk pada Allah atas segala karunia-Nya yang tak pernah habis. Dalam penciptaan langit-bumi nya, siang-malam nya, susah-mudah nya, pria-perempuan nya, dengan segenap hikmah yang menjadi penambah iman pada-Nya.

Allahu taโ€™aala aโ€™lam.

Posted in Opini, Renungan

Surat Terbuka bagi yang Masih Sulit Melepaskanย 

Ada masa di mana hati menjerit bersebab luka cinta. Bukan, bukan cinta yang melukai. Tapi diri sendiri lah yang keliru menempatkan cinta.

Herannya, tak jarang pula luka-luka itu masih saja mengalirkan kesetiaan. Bahkan tak lelah membasuhnya dengan harapan-harapan baik akan terjaganya cinta tersebut. 

Melelahkan.

Di satu sisi, kita tak tahu pemenang hati kita apakah senada merasa demikian? Sedang kadang tergambar bahwa kita bukanlah satu-satunya pilihan, lalu mengapa masih memuja dan memelihara harapan? 

Melepaskan memang tak mudah. Apalagi membiarkan hati berkali-kali berguyur air mata. Tapi melepaskan tak sekedar kehilangan. Darinya ada bukti keimanan bahwa benar, semua tak ada yang abadi. Ada sesejati Pemilik, ada sebijak Pengatur, dan ada seindah Penjawab atas gegundah jiwa.

“Dan apabila kamu meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.โ€

Kira-kira begitu sabda Tauladan kita.

Berikut beberapa langkah melepaskan: 

1. NIATKAN KARENA ALLAH

Jika bukan karena Allah, tentu melepaskan sangat berat. Siapa yang menjamin rasa dalam dada itu hilang sedang bayang kenangan kerap menari menggoda pikiran? Siapa yang menghendaki terobatinya gores luka sedang perihnya sakit berkali-kali merusak hari? Siapa yang mengkaruniai ketenteraman batin hingga melepaskan menjadi pilihan utama? 

Niatkan karena-Nya. Ia semaha paham yang terbaik untuk kita.

2. BUANG SEMUA TENTANGNYA

Kontak, foto, rekaman, segala yang  berhubungan, silakan dihapus. Mungkin terbilang berlebihan. Tapi kita tak tahu bagaimana kenangan menggoda kita. 

Dan yang perlu diingat dari point ini adalah, ia bermanfaat ketika kadar perasaan kita terlampau dalam. Ya, ketika kita benar-benar tenggelam di dasar cinta yang salah. Ketika kita memang menyimpan rapih segala yang bersangkutan dengannya. Dari foto semasa kecil, sampai semua akun sosmednya kita stalk satu per satu. 

Namun jika tidak sebagaimana itu, maka lanjut ke point berikutnya.

3. WARNAI HARI-HARIMU

โ€œSesungguhnya amalan-amalan baik itu menghapus amalan-amalan buruk.โ€

Kira-kira begitu pesan yang disampaikan dalam Al Quran. Mewarnai hari-hari dengan kegiatan positif akan membantu kita melupakan hati yang sakit tanpa harus memaksa, membantu kita melepaskan hati yang salah tanpa berlama-lama dalam penyesalan. Senantiasalah berlaku baik pada sekitar, bahkan perlu lebih giat dari sebelumnya. 

Mulai perdalam passion, mulai kembali merancang masa depan, mulai lagi susun target-target sukses. Pelajari yang belum kita pahami baik. Tekuni yang sudah sempat kita pelajari. Tebarkan manfaat sebanyak-banyaknya. 

Mulai menggabungkan diri โ€˜tuk berkontribusi. Jangan biarkan celah sedikit saja mengingatkanmu akan kenangan-kenangan masa lalu. Jangan biarkan harimu kosong. Teruslah beramal baik, sungguh Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang Muhsinin.

4. SELAMAT BERBAHAGIA

Syukuri kondisi saat ini. Bagaimanapun masa lalu kelam dengan kesalahan-kesalahannya, jangan biarkan ia memalung kebahagiaan kita. Seburuk apa masa lalu seseorang, ia berhak bahagia di masa depannya. 

Hati yang baik, adalah yang berkeinginan kuat tuk kerap memperbaikinya. Allah mencintai orang-orang yang meminta ampunan lagi tak mengulang kealpaannya. Suasana baru, kawan baru, fasilitas baru, semua yang hadir kini adalah hadiah Allah atas juang meninggalkan sesuatu karena-Nya.

Lihatlah, bukankah banyak cinta berdatangan dan itu lebih sempurna? Bukankah banyak mimpi yang bercapaian dan itu lebih bersinar? Bukankah singgah bersama kita, orang-orang yang lebih tulus menyayangi?

Berbahagialah. Sebab hati kini jauh lebih tegar dari sebelumnya.

Semoga bermanfaat, salam santun. ๐Ÿ™‚

Arahkan Hatimuย 

Sepatutnya para wanita menyadari, tidak semua perhatian kaum lelaki tanda mereka mencintai. Pun sepatutnya para lelaki memahami, tak semua respon baik kaum wanita bertanda mereka memiliki rasa. 

Ini yang harus dipahat baik-baik pada hati yang masih sendiri.

Yang demikian agar kiranya para wanita mampu mengarahkan hati mereka kala tunas harap mulai menumbuh. 

Kebahagiaan di’peduli’kan sesama memang fitrah. Tapi ingat, ketika bahagia itu melahirkan kerinduan, lantas menyimak segala tentangnya menjadi kebiasaan, bukan itu yang dinamakan cinta.

Pun pria, meski sebagian besar pribadi lelaki terbilang abai, tapi rasa sayang juga tak hilang dari hati mereka. Meski karakter lelaki terkenal keras, tapi kelembutannya bahkan bisa memeras air mata. Sebab itu mengenali wanita dengan akrab tak begitu saja menyelamatkan ia dari menaruh pilihan.

Pahamilah, hatimu miliki titik terdalam bernama nurani. Terkadang kita salah menafsirkan rasa yang menyinggah; kagum, peduli, suka, semua dinobatkan cinta. Atau terbungkus segera dalam angan; aku ingin bersama dia.

Padahal kalau sedikit saja kita bersabar, merenungi hakikat rasa yang ada, tentu kita tak terjatuh pada perkara cinta. Perasaan kita tak mudah terbawa. Pun segala amalan kita tak lagi sekedar mendapat perhatian dan nilai darinya. 

Pahamilah, hatimu berada di antara dua jari Allah. Itu tandanya bisa saja kita yang sebelumnya berdekatan, lalu jauh. Dan yang tadinya tak mengenal, lalu dekat seakan saling merupa pakaian bagi sesama. 

Pertanyaan sekarang adalah, untuk apa memelihara rasa dan angan yang belum tentu sesuai? 

Lakukan apa yang bisa kita lakukan. Yaitu dengan mengarahkan hati tuk senantiasa berbenah. Tuk senantiasa memberikan cinta pada yang berhak, serta kerap melangitkan dedoa pinta cinta mereka yang mencintai-Nya. Agar kelak, sebab cinta kita tak lain adalah ridho Allah semata.

Salam santun ๐Ÿ™‚