Belum lama ini beberapa teman menceritakan sepotong kisah hidupnya ke saya. Pembahasannya tak jauh dari salah satu pengalaman baru saya, yakni menikah.
Di antara mereka ada yang bela-belain datang ke Bekasi sehari sebelum acara pernikahan. Ada juga yang cerita ketika menemani saya booking tempat penginapan. Pun ada pula yang berkunjung dan mencari saya untuk sharing seputar satu ini, pernikahan.
Pada dasarnya saya hanyalah telur yang baru menetas untuk hal itu. Usia pernikahan saya masih terlalu muda tuk menjawab pertanyaan yang teman-teman ajukan. Dan saya kira akan sangat panjang bila kita mau mengupas satu per satunya.
Namun di lain sisi saya merasa terpanggil menulis ini. Bagaimana bisa teman kita sudah memercayakan sebagian kisahnya tapi respon kita begitu singkat dan seakan tak ada yang bisa “dibawa pulang”? Semoga sedikit pengalaman dan wawasan yang akan tertoreh nanti bisa mencerahkan, ya. ๐
Saya akan mengawali bagaimana salah satu fuqoha kita, Imam Syafi’i rahimakumullah berbicara soal hukum menikah dalam Islam. Ternyata hukumnya tidak hanya sunnah, tapi juga ada wajib, makruh dan haram.
Ia sunnah ketika seseorang sudah merasa perlu dan punya uhbah (biaya untuk mahar, kiswah, nafaqoh). Jika seseorang itu belum memiliki uhbah maka sebaiknya tidak menikah. Dan Rasulullah telah menyampaikan bahwasanya puasa mampu menjaga nafsu kita dari hal-hal yang haram.
Ia bisa menjadi wajib, yaitu ketika seseorang takut akan terjerumus kepada zina. Ia bisa juga menjadi makruh bagi yang tidak merasa perlu menikah pun tak punya uhbah. Bagian ini dicontohkan seperti kakek/nenek yang sudah terlalu tua. Dan terakhir, menikah bisa menjadi haram apabila seseorang yakin tak mampu menjalani hak-kewajiban berumah tangga.
Dari perincian ini yang kemudian membuat saya berpikir, betapa Imam Syafi’i begitu detail memetakan hukum menikah. Sedangkan kita yang bukan fuqoha, bukan hafizh, bukan ulama, kenapa masih suka tergesa-gesa menentukan keputusan menikah. Kadang masih suka berangkat dari kebaperan melihat teman-temannya lebih dulu menikah, atau kondisi futur yang ujug-ujug menilai diri kita sudah butuh “teman”. Hm. Tak semudah itu, Ferguso. ๐
Kesiapan menikah memang tidak punya barometer tertentu. Ia tidak bisa diukur hanya dari suatu keahlian apalagi usia. Namun setidaknya ada beberapa poin yang perlu kita raba kembali tuk menjawab, “Am I ready for marriage?”
1. Apa Ekspektasimu dari Pernikahan?
Kekecewaan dalam pernikahan bisa saja terjadi jika apa yang kita ekspektasikan tidak sesuai dengan kenyataan. Cobalah jujur terhadap diri sendiri, menurut kita bagaimana sih pernikahan yang sukses itu?
Jika kita berharap menikah berarti terlepas dari tanggung jawab, namun setelah menikah kita mendapat tanggung jawab yang lebih banyak, maka di sana akan terjadi masalah.
Jika kita berharap menikah berarti bisa menghabiskan setiap pekan untuk quality time bersama pasangan, tapi setelah menikah malah punya agenda sendiri-sendiri, itu juga berpotensi menjadi masalah.
Cobalah bertanya pada diri sendiri apakah dengan menikah mampu meningkatkan hidup kita jadi lebih baik? Jika alasan dan harapan menikah kita dengan pasangan ternyata belum sejalan, mungkin kita belum bisa dikatakan siap menikah.
2. Bagaimana Kamu dan Pasangan Mengatasi Ketidaksepakatan?
Dulu saya pernah dikenalkan dengan seorang pria. Ia meminta orang lain tuk menghubungi saya dan menyampaikan niatnya yang ingin ta’aruf dengan saya. Saat itu saya belum tau apa-apa dan hanya ikut apa kata perantara.
Oke, tibalah di suatu poin yang membuat saya tidak sepakat dengan pilihannya. Ketidaksepakatan itu tentu berdasarkan ilmu dan keyakinan yang sudah saya pegang selama ini. Saya sampaikan baik-baik, bahwa prinsip saya berbeda. Saya kira pria itu bisa paham dan setidaknya mengambil jalan tengah, tapi justru dia menimpali pendapat saya dengan opini yang tak berdasar.
Baiklah, esoknya saya coba kirim artikel dan beberapa rujukan lain sebagai alasan saya berbeda pandangan dengannya. Tapi pria itu tetap tidak menerima, bahkan perantara pun setuju dengan dasar saya dan mengingatkan saya untuk perbanyak lagi doanya, semoga Allah hadirkan ketenangan jika lanjut atau tidaknya proses perkenalan tersebut.
Alhamdulillah pada saat itu saya kira saya belum siap menikah. Saya belum bisa menerima perbedaan pilihan tersebut pun sebaliknya.
Dari sini saya belajar, dulu saya takut mengatakan tidak dalam hal ini. Saya kira jika seorang Iaki-laki datang maka harus diterima. Saya kira proses menuju pernikahan itu akan mudah. Yang penting yakin aja sama Allah siapa pun yang datang. Tapi ternyata bukan begitu. Kenapa Islam memberikan hak kepada perempuan untuk menerima atau menolak? Kenapa sebagian ulama menjadikan persetujuan perempuan termasuk syarat pernikahan?
Dari cerita ini saya juga belajar, ketika seorang perempuan sudah “didatangi”, ketika itu pula harusnya ia lebih aware dengan perjalanan hidupnya. Mulai lagi menengok kondisi hati, bagaimana ia telah melalui hari-hari, dan bagaimana ia akan meneruskan perjalanan di sisa umurnya. Mulai belajar bagaimana menyambut kehidupan pernikahan. Agar ketika Allah datangkan laki-laki yang tepat, kita sudah siap dengan versi terbaik kita.
Bersambung …