Posted in Artikel, Coretan, Kisah, Renungan

Jadikanlah Kami Orang-Orang yang Bertaubat

Sebaik-baiknya seorang hamba, adalah sebab Dzat Mahabaik yang menuntun ia menjadi baik.

Sesungguhnya Allah itu Maha pemalu dan Maha menutupi,” sabda Rasulullah. Ibnu Qayyim mengatakan soal hadis ini, dan Dialah Yang Maha Pemalu, maka Ia tidak akan membeberkan aib hamba-Nya.

Sekitar dua pekan yang lalu, foto saya dan suami di atas cukup menarik untuk dipost oleh beberapa akun. Ada yang memberi doa keberkahan, pujian,kritikan, hingga respon-respon kebaperan ๐Ÿ˜…

Alaa kulli haal, yang kemudian mengusik hati kami adalah, begitu indah Allah menutupi lalai-lalai kami. Kami salah, kami lupa, kami lengah, tapi Allah dengan segala kelembutan-Nya memoles rupa kami.

Jadi ingat kisah musim kemarau di zaman Nabi Musa. Saat itu, Bani Israil meminta Musa untuk berdoa agar Allah turunkan hujan. Lalu Allah berfirman, bahwa di antara kaum Nabi Musa, ada seseorang yang sudah bermaksiat pada-Nya selama 40 tahun. Allah memerintahkan Musa tuk mengumumkannya dan meminta orang tersebut mengaku. Sebab karenanya lah Allah tak menurunkan hujan.

Orang-orang pun saling melirik dan berbisik, siapa di antara mereka yang telah bermaksiat 40 tahun itu? Di antara keramaian tersebut, ternyata ada hati yang terpanggil, menyadari bahwa dirinya lah yang dimaksud. Iya, ada hati yang menyesal telah bermaksiat pada-Nya, dan selama itu pula Allah tutup aibnya. Ia kemudian menangis, mengharap ampunan Allah masih layak atasnya.

Tiba-tiba langit menggelap. Awan-awan semakin menggumpal. Hujan pun turun menderas basahi tanah-tanah kering itu. Orang-orang senang sekaligus heran. Senang, karena Allah telah kabulkan doa mereka. Heran, karena belum ada seseorang yang mengaku di hadapan mereka telah bermaksiat, tapi Allah telah turunkan hujan.

Musa pun bertanya, siapakah gerangan hamba tersebut? Allah menjawab, “Ia telah bertaubat dan Aku mengampuninya. Aku menahan hujan karenanya dan Aku turunkan hujan karenanya juga.

Musa berkata, “Ya Rabb, tunjukkanlah padaku hamba yang taat tersebut.”

Allah berfirman, “Wahai Musa, Aku tidak membuka โ€˜aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku membuka โ€˜aibnya sedangkan ia telah bertaubat dan kembali pada-Ku?

Betapa sering Allah menutupi alpa-alpa kita. Kalau kata seorang salaf, “Jika seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan bau, maka tidak ada seorang pun yang duduk bersamaku“.

Semoga Allah menjadikan kita semua hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Sebab dengan taubat, kita sadar kita suka melampaui batas. Sebab dengan taubat, ada ampunan yang disusul dengan rahmat.

Ternyata Allah tak cukup menutupi aib hamba-Nya di dunia. Tapi juga kelak, Allah akan mendekatkan seorang mukmin kepada-Nya. Ia menutupinya dengan kain penutup-Nya dan bertanya, “Apakah kamu tau dosa ini? Apakah kamu tau dosa itu?” Hingga hamba tersebut yakin dirinya akan hancur sebab banyaknya dosa.

Tapi apa yang kemudian Allah katakan? “Telah aku tutup dosa itu padamu di dunia. Dan pada hari ini aku ampuni kamu.โ€ (HR. Bukhori)

Sekali lagi terima kasih buat Pak @silvalery yang sudah inisiatif memotret. Semoga profesi dan usahanya sukses + berkah terus. Aamiin. ๐Ÿ™‚

Posted in Coretan, Opini

Am I Ready for Marriage?

Belum lama ini beberapa teman menceritakan sepotong kisah hidupnya ke saya. Pembahasannya tak jauh dari salah satu pengalaman baru saya, yakni menikah.

Di antara mereka ada yang bela-belain datang ke Bekasi sehari sebelum acara pernikahan. Ada juga yang cerita ketika menemani saya booking tempat penginapan. Pun ada pula yang berkunjung dan mencari saya untuk sharing seputar satu ini, pernikahan.

Pada dasarnya saya hanyalah telur yang baru menetas untuk hal itu. Usia pernikahan saya masih terlalu muda tuk menjawab pertanyaan yang teman-teman ajukan. Dan saya kira akan sangat panjang bila kita mau mengupas satu per satunya.

Namun di lain sisi saya merasa terpanggil menulis ini. Bagaimana bisa teman kita sudah memercayakan sebagian kisahnya tapi respon kita begitu singkat dan seakan tak ada yang bisa “dibawa pulang”? Semoga sedikit pengalaman dan wawasan yang akan tertoreh nanti bisa mencerahkan, ya. ๐Ÿ™‚

Saya akan mengawali bagaimana salah satu fuqoha kita, Imam Syafi’i rahimakumullah berbicara soal hukum menikah dalam Islam. Ternyata hukumnya tidak hanya sunnah, tapi juga ada wajib, makruh dan haram.

Ia sunnah ketika seseorang sudah merasa perlu dan punya uhbah (biaya untuk mahar, kiswah, nafaqoh). Jika seseorang itu belum memiliki uhbah maka sebaiknya tidak menikah. Dan Rasulullah telah menyampaikan bahwasanya puasa mampu menjaga nafsu kita dari hal-hal yang haram.

Ia bisa menjadi wajib, yaitu ketika seseorang takut akan terjerumus kepada zina. Ia bisa juga menjadi makruh bagi yang tidak merasa perlu menikah pun tak punya uhbah. Bagian ini dicontohkan seperti kakek/nenek yang sudah terlalu tua. Dan terakhir, menikah bisa menjadi haram apabila seseorang yakin tak mampu menjalani hak-kewajiban berumah tangga.

Dari perincian ini yang kemudian membuat saya berpikir, betapa Imam Syafi’i begitu detail memetakan hukum menikah. Sedangkan kita yang bukan fuqoha, bukan hafizh, bukan ulama, kenapa masih suka tergesa-gesa menentukan keputusan menikah. Kadang masih suka berangkat dari kebaperan melihat teman-temannya lebih dulu menikah, atau kondisi futur yang ujug-ujug menilai diri kita sudah butuh “teman”. Hm. Tak semudah itu, Ferguso. ๐Ÿ˜

Kesiapan menikah memang tidak punya barometer tertentu. Ia tidak bisa diukur hanya dari suatu keahlian apalagi usia. Namun setidaknya ada beberapa poin yang perlu kita raba kembali tuk menjawab, “Am I ready for marriage?”

1. Apa Ekspektasimu dari Pernikahan?

Kekecewaan dalam pernikahan bisa saja terjadi jika apa yang kita ekspektasikan tidak sesuai dengan kenyataan. Cobalah jujur terhadap diri sendiri, menurut kita bagaimana sih pernikahan yang sukses itu?

Jika kita berharap menikah berarti terlepas dari tanggung jawab, namun setelah menikah kita mendapat tanggung jawab yang lebih banyak, maka di sana akan terjadi masalah.

Jika kita berharap menikah berarti bisa menghabiskan setiap pekan untuk quality time bersama pasangan, tapi setelah menikah malah punya agenda sendiri-sendiri, itu juga berpotensi menjadi masalah.

Cobalah bertanya pada diri sendiri apakah dengan menikah mampu meningkatkan hidup kita jadi lebih baik? Jika alasan dan harapan menikah kita dengan pasangan ternyata belum sejalan, mungkin kita belum bisa dikatakan siap menikah.

2. Bagaimana Kamu dan Pasangan Mengatasi Ketidaksepakatan?

Dulu saya pernah dikenalkan dengan seorang pria. Ia meminta orang lain tuk menghubungi saya dan menyampaikan niatnya yang ingin ta’aruf dengan saya. Saat itu saya belum tau apa-apa dan hanya ikut apa kata perantara.

Oke, tibalah di suatu poin yang membuat saya tidak sepakat dengan pilihannya. Ketidaksepakatan itu tentu berdasarkan ilmu dan keyakinan yang sudah saya pegang selama ini. Saya sampaikan baik-baik, bahwa prinsip saya berbeda. Saya kira pria itu bisa paham dan setidaknya mengambil jalan tengah, tapi justru dia menimpali pendapat saya dengan opini yang tak berdasar.

Baiklah, esoknya saya coba kirim artikel dan beberapa rujukan lain sebagai alasan saya berbeda pandangan dengannya. Tapi pria itu tetap tidak menerima, bahkan perantara pun setuju dengan dasar saya dan mengingatkan saya untuk perbanyak lagi doanya, semoga Allah hadirkan ketenangan jika lanjut atau tidaknya proses perkenalan tersebut.

Alhamdulillah pada saat itu saya kira saya belum siap menikah. Saya belum bisa menerima perbedaan pilihan tersebut pun sebaliknya.

Dari sini saya belajar, dulu saya takut mengatakan tidak dalam hal ini. Saya kira jika seorang Iaki-laki datang maka harus diterima. Saya kira proses menuju pernikahan itu akan mudah. Yang penting yakin aja sama Allah siapa pun yang datang. Tapi ternyata bukan begitu. Kenapa Islam memberikan hak kepada perempuan untuk menerima atau menolak? Kenapa sebagian ulama menjadikan persetujuan perempuan termasuk syarat pernikahan?

Dari cerita ini saya juga belajar, ketika seorang perempuan sudah “didatangi”, ketika itu pula harusnya ia lebih aware dengan perjalanan hidupnya. Mulai lagi menengok kondisi hati, bagaimana ia telah melalui hari-hari, dan bagaimana ia akan meneruskan perjalanan di sisa umurnya. Mulai belajar bagaimana menyambut kehidupan pernikahan. Agar ketika Allah datangkan laki-laki yang tepat, kita sudah siap dengan versi terbaik kita.

Bersambung …

Posted in Artikel, Opini, Syariah

Cuma Dua Peran Dakwah

Telah dikisahkan dalam surat Yasin, ketika Allah mengutus dua orang utusan pada suatu kaum, kaum tersebut mendustakannya. Lalu Allah kuatkan lagi dengan utusan ketiga. Namun nihil, mereka justru membangkang dan berkata, “Kalian hanyalah manusia seperti kami, Allah tidak menurunkan suatu apa pun, kalian hanyalah pendusta belaka.”

Kemudian datang seorang laki-laki dari ujung kota dan berkata, “Wahai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang-orang yang tidak meminta imbalan kepada kalian.

Mendengar dukungan itu, apakah lantas membuat kaum tersebut memercayai utusan mereka?

Ternyata tidak. Dalam tafsir Al Qurthubi diceritakan bahwa kaum tersebut justru berusaha membunuh laki-laki itu. Dan demi Allah, tidaklah ruh laki-laki itu keluar dari jasadnya melainkan pintu Jannah yang terbuka untuknya.

Dari kisah ini kita belajar, dalam dakwah, ada penyampai dakwah (utusan Allah), ada pendukung utusan Allah. Dari rangkaian ayat ini Allah menunjukkan bagaimana seorang pendukung dakwah ternyata punya resiko yang cukup besar sebagaimana penyampai dakwah. Wala‘ atau pembelaan kita terhadap sesuatu yang akan menentukan kemana kita pulang.

Maka tidak heran ketika kita melihat fenomena memasang bendera bertuliskan kalimat tauhid, atau orasi menggunakan kata jihad, atau menulis mengkritisi kerja para pemimpin, akan dicap begitu saja sebagai pegiat terorisme.

Maka jika dakwah hanya menawarkan dua peran, penyampai atau pendukung, di manakah kita berdiri? Mungkin gagasan kita belum sekuat para ulama, kita belum punya ilmu dan wawasan yang cukup untuk menyampaikan ajaran rahmatan lil ‘aalamiin. Tapi tidak kemudian membuat kita bungkam dan tak berperan. Kita masih bisa mendukung gagasan-gagasan para du’aat dengan potensi yang Allah modalkan kepada kita.

Jika dakwah hanya menawarkan dua peran, penyampai dan pendukung, maka tidak ada pilihan ketiga atau yang lain. Tidak ada pilihan untuk tak peduli, lari, atau berdiam diri.

Wallahu ta’aalaa a’lam.

Posted in Coretan, Renungan

Mendidik Keinginan

Jauhilah dari kita rasa ingin berlebihan. Sebab keinginan sering kali bertolak jauh dari kesyukuran. Keinginan pula yang perlahan menodai hati kita ketika melihat kenikmatan tak sampai-sampai kepada kita.

Gagasan di atas saya sadari ketika ngobrol santai bersama suami. Tiba-tiba beliau bilang, “Dek, mas kan guru, ya. Gajinya ga banyak…,” saya seketika diam.

Mas tuh sering mikir, pengen ngasih adek uang lebih buat tambahan. Kira-kira harus ngapain ya, biar ga gini-gini terus….”

Pada saat itu pula saya belum bisa berkata-kata. Menahan haru. Nggak nyangka kalo suami kepikiran begitu. Langsung saja saya jawab jujur, “Adek kan nikah sama mas karena mas guruu,” lalu kita berdua hanyut dalam keterharuan dan air mata. *Lebay sekali ya! :’D

Dari dialog sederhana itu saya teringat keinginan-keinginan yang sempat terlintas. Teringat juga tentang cerita-cerita saya yang tanpa sadar mungkin membuat suami kepikiran. Semuanya semakin mengundang tangis saya berjatuhan. Betapa banyaknya keinginan duniawi kita, betapa sempitnya kita mendefinisikan makna bahagia, betapa rapuhnya mata hati kita menyadari dan menjaga nikmat-nikmat yang sudah ada.

Padahal, semua kebutuhan rumah tangga baik primer pun sekunder sudah suami berikan. Dari kebutuhan hingga hiburan juga sudah suami sediakan. Bahkan hampir setiap hari saya bisa jajan. :’)

Jadi merasa capek sendiri ketika kita terus berkeinginan materi.

Untuk itulah saya menulis pesan ini kepada diri saya sendiri, seorang laki-laki yang mencintaimu tak selalu harus memberi apa yang kamu mau. Dan percayalah cinta yang tulus akan berjuang mati-matian untuk membahagiakan, merawat, menumbuhkan orang yang dicintainya.

Perempuan memang menyukai hal-hal materiil. Mulailah didik keinginan kita, mulailah ajak diri sendiri tuk lapang merelakan hal sementara demi mencapai yang esensial. Percayalah semakin menua kita semakin harus banyak berkorban. Tentu bukan pengorbanan biasa, melainkan pengorbanan yang kelak mengumpulkan kita bersama orang tersayang.

Sometimes we make dua for a door of the dunya. When it doesn’t open, we cry. Not realizeing that Allah has instead opened a door of Jannah for us” (Yasmin Mogahed)

Posted in Coretan, Opini, Renungan

Mulailah dari Apa yang Kita Miliki

Pernah nggak sih, ngerasa hidup kita gini-gini aja? Nggak ada tantangan, nggak berkembang, dan parahnya sampai lahir mindset “udahlah, nasib kita emang gini!”

Setiap kali ketemu orang-orang hebat, sebagian besar mereka mengaku punya motivasi kuat membahagiakan orang tua. Oke. Itu bagi mereka. Sedangkan untuk kita yang boro-boro membahagiakan orang tua, sedari kecil cacian-amarah sering kali kita dengar dari ayah pun ibu. Setiap usaha kita memberikan yang terbaik selalu berujung salah di mata mereka, hingga akhirnya cerai dan nggak meduliin kita. Untuk apa membahagiakan mereka?

Mendengar kisah inspiratif di seminar-seminar juga hampir seluruhnya punya motivasi: lahir dalam kondisi serba kurang dan masa kecil sulit yang akhirnya menggerakkan hati kecil mereka tuk berpendidikan serta berkarya. Lalu kita sekilas mengingat bagaimana dulu kita hidup. Ah, kita tinggal di kota, apa-apa mudah, mau minta apa langsung dikasih dan sebagainya. Ya pantas aja mereka berhasil, kalo kita mah yang dari lahir aman-aman aja susah dapetin motivasinya.

Tanpa kita sadari, semua itu hanyalah alasan buat memaklumi diri yang nggak maju-maju. Ibarat mengeluh kenapa hujan turun ketika kita hendak pergi ke taman. Padahal hujan itu lah yang tanpa perhatian kita telah menumbuhkan bunga-bunga dan merindangkan pepohonan.

Kita tidak pernah dilahirkan sempurna. Dalam maksud lain, setiap manusia tentu punya sisi gelap dan sisi terang. Punya cerita kelam dan cerita bahagia. Pernah mengalami masa-masa sulit dan menghimpit.

Tapi di balik itu Allah tak menciptakan kita tanpa tujuan, Ia menitipkan akal serta hati agar kita mampu berupaya melihat keterbatasan sebagai jalan, cobaan sebagai kekuatan, dan rintangan yang membentang sebagai bukti sampai mana kita meyakini Allah kan memberi pertolongan.

Maka, mari kita bertanya kepada diri masing-masing, kenapa kita nggak mulai saja dengan apa yang kita miliki?

Orang tua kamu bercerai dan melarikan diri, lantas apakah begitu saja kamu menganggap dirimu pantas menjadi nakal dan kurang beradab? Tidak, kamu berhak hidup lebih baik dan membangun keluarga yang harmonis. Kamu memiliki teman-teman yang peduli, kamu memiliki mimpi yang dinanti-nanti oleh orang yang menyayangimu.

Masa kecilmu memang tak seinspiratif anak-anak kecil lain, tak ada suntikan menjadi pribadi hebat dari guru ataupun orang tuamu. Tapi apakah lantas kemudian kamu nggak tergerak ketika menyadari bagaimana pribadi hebat itu? Kamu memiliki hari ini, masa muda yang menuntutmu berkontribusi. Kamu punya potensi yang perlu kamu gali.

Dua peristiwa di atas tak lain hanya sebagian dari kisah yang pernah saya temui. Artinya, masih banyak contoh dan gambaran lain bagaimana kita terlalu bingung dengan kondisi dan merasa kesulitan tuk memulai. Menyalahkan keberadaan kita di suatu keadaan dan enggan bersyukur dengan apa yang sudah diberikan.

Pada akhirnya mari kita awali langkah dari apa yang kita bisa, dari apa yang kita punya. Karena sejatinya Allah tak akan pernah membiarkan kita sia-sia selama kita ingin berupaya.

Selamat memulai! ๐Ÿ™‚

Posted in Artikel, terjemahan

6 Langkah Penting Mengubah Kebiasaan Tidak Baik

Banyak orang merasa kesulitan ketika harus mengubah kebiasaan buruk. Maksudnya, kita tahu beberapa hal yang kita lakukan dari waktu ke waktu salah, tapi sepertinya kita tidak bisa berhenti dari hal-hal tersebut. Kita mungkin kembali memakan makanan ringan yang tidak sehat, kembali merokok setelah satu bulan terbebas dari rokok, bahkan mungkin melihat hal-hal yang tidak seharusnya dilihat. Berangkat dari sini, bagaimana kita membuat perubahan yang abadi?

Mendapatkan motivasi dan kekuatan untuk melawan kebiasaan yang tidak diinginkan tidaklah mudah. Tapi berikut ini adalah kerangka kerja sederhana yang membantu kita mengubah kebiasaan negatif menjadi kebiasaan yang baik.

1.ย ย  ‘Mengubah’ tidak akan menghapus kebiasaan

Ini kenyataan pahit yang harus kita telan. Namun benar, istilah โ€˜mengubahโ€™ tidak akan membasmi kebiasaan yang tidak diinginkan dari pola pikir sepenuhnya, tapi justru dengan membentuk kebiasaan baru di kehidupan kita.

Gagasan ini berhubungan dengan neuroplastisitas di otak. Neuroplastisitas yaitu kemampuan otak untuk tumbuh dan menentukan struktur jalur sarafnya. Seperti air laut yang mengalir melalui pasir. Pada awalnya, tidak ada rute, sehingga air menciptakan rute sendiri agar bisa mengalir ke laut. Seiring waktu, karena air terus mengalir, jalur akan semakin jelas dan terbentuk. Terkadang jika air bertambah banyak, maka jalur baru di atas jalur lama akan terbentuk, dan beberapa jalur lama tidak akan digunakan lagi. Ini cara dasar kita menggambarkan neuroplastisitas.

Hasil penelitian kerja otak ini berlaku dalam keseluruhan kasus. Misalnya, bagi kita yang memiliki kebiasaan makan yang tak sehat, makanan ringan yang sehat harus selalu tersedia sehingga kita tidak terjebak dalam makanan sampah tersebut ketika kita lapar. Atau untuk kita yang terlampau bebas menggunakan internet, situs-situs dan aplikasi mendidik harus kita koleksi sehingga kebiasaan ngenet tidak kita lampiaskan kepada hal-hal yang tidak bermanfaat.

2.ย  Identifikasi dan potong pemicu

Langkah pertama untuk mengubah kebiasaan buruk dalam hidup adalah dengan mengidentifikasi pemicu yang dapat menyebabkan kita kembali ke kebiasaan tersebut.

Ini tentang menemukan isyarat yang memicu neuron di otak kita bereaksi. Ketika hormon dopamin yang dikeluarkan karena kebiasaan lama, otak kita akan mendaftarkan perasaan yang menyenangkan, sehingga tubuh akan kecanduan dan bereaksi sebagaimana kebiasaan lama. Penting bagi kita untuk mengetahui hal ini sehingga kita dapat mengerti hal-hal apa saja yang memacu kecanduan, lalu mengatasinya dengan ย memberdayakan diri bereaksi melalui cara yang benar. Sehingga kita menemukan dan menyalurkan perasaan bahagia kita.

Misalnya, seseorang yang berjuang untuk makan sehat mungkin masalahnya karena mereka menemukan banyak junk food di sekitar rumah. Solusinya? Sumbangkan makanan ke selter tunawisma. Hal ini tidak hanya melindungi diri dari gaya hidup tidak sehat, tapi juga sebagai stimulan memicu endorfin tenang yang muncul karena rasa lapang membuat orang lain bahagia.

Melepaskan pemicu dari hidup adalah kunci, dan menjauhkannya membuat kkita lebih mudah terjaga dari kebiasaan buruk lagi. Untuk alasan yang sama, saya pernah membaca tentang seorang peneliti yang membuat butiran rokok seperti muntah dalam studinya. Dia mengira dengan membuatnya demikian, perokok akan mudah menjauh dari rokok. Karena setiap kali mereka merasa ingin merokok, mereka akan mengingat bau yang membuat mereka ragu untuk merokok lagi.

Kebiasaan yang berbeda akan memiliki pemicu yang berbeda. Belajar mengidentifikasi pemicu mampu mengubah hidup kita. Dan dengan mencari pemicu, gejala dapat disembuhkan.

3.ย ย  Miliki pengganti yang direncanakan

Jika kita telah berhasil mengidentifikasi pemicu, langkah selanjutnya adalah mengganti kebiasaan dengan hal lain. Setiap kali kita menghilangkan kebiasaan buruk, kita meninggalkan ruang kosong di otak. Ingat, kebiasaan itu mempunyai suatu tujuan (mengatasi stres, membuat kita merasa baik, menghilangkan kebosanan dll). Melepaskannya berarti menciptakan kekosongan yang perlu diisi dengan hal lain. Saya mengatakan ini karena membiarkan ruang kosong bisa membuat orang jatuh kembali ke cara lama mereka.

Bagi mereka yang jatuh ke dalam pornografi, cari alternatif lain yang bermanfaat, yang membuat pikiran dan tubuh sibuk. Olahraga, misalnya. Atau menggabungkan diri ke komunitas-komunitas sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka kembali ke kebiasaan demikian.

Oleh karena itu, tujuan kita adalah mengubah kebiasaan dan bukan menghapus kebiasaan. Temukan sesuatu yang akan membantu kita mengalihkan fokus dari kebiasaan itu sendiri. Bagi perokok yang mungkin mendambakan nikotin, ganti dengan latihan pernapasan.

Pada catatan ini, ada satu metode tertentu yang saya anggap berguna ketika saya malas-malasan melaksanakan shalat. Terkadang kita kehilangan fokus dan khusyuk. Dalam kasus yang hampir sama, bahkan kita meninggalkan shalat. Untuk mengatasi ini, cobalah setiap kali ย mendengar azan, sebelum memberi izin diri kita untuk berpikir, kerjakan shalat seusai azan langsung. Kita biarkan tindakan melawan pikiran kita yang tengah mencari alasan menunda shalat.

4.ย  Menciptakan tujuan yang dapat dicapai

Mengubah berarti membutuhkan waktu, tenaga, dan tekad yang kuat. Bijaksanalah untuk melakukan perubahan secara perlahan dan bukan dalam satu langkah.

Lebih baik membangun fondasi yang kuat dan perlahan tapi pasti memberantas semua kesulitan. Mari ambil contoh khamr dalam Islam. Khamr tidak dilarang dalam satu waktu, melainkan secara bertahap, yang di setiap tahapannya memiliki tujuan.

Bagi mereka yang ingin membaca Alquran lebih banyak, kita bisa memulai dengan 3 ayat setiap hari. Punya aplikasi Alquran di telepon sehingga bisa melakukannya di mana dan kapan saja. Kemudian mencoba membaca keseluruhan surah, lalu coba 2 surah dan seterusnya. Akhirnya, kita bisa melakukan sebuah tahapan dengan nyaman insya’Allah. Tuliskan daftar kebiasaan buruk hari ini, dan rencanakan secara strategis bagaimana bertarung dengan mereka sedikit demi sedikit.

5.ย  Hilangkan Mitos โ€œCukup 3 minggu!โ€

Awalnya, para ilmuwan menyarankan agar otak kita dibentuk sepenuhnya saat kita masih kecil. Lalu merumuskan fondasi kokoh yang tidak akan berevolusi, sehingga membuat perubahan menjadi sulit.

Namun kini pemahaman kita tentang jiwa manusia telah berkembang dengan pesat. Para ilmuwan telah berpendapat agar otak kita dapat berubah dan beradaptasi dengan baik meski mencapai usia dewasa.

Salah satu tokoh terkenal Maxwell Maltz, ahli bedah kosmetik yang merumuskan bahwa dibutuhkan 21 hari untuk membentuk atau menghancurkan kebiasaan. Dia mengembangkan teori ini melalui pengalamannya bersama pasien. Dia menemukan bahwa dibutuhkan waktu 21 hari bagi mereka memperhatikan perubahan setelah operasi. Sejak saat itu, banyak orang percaya bahwa dibutuhkan waktu 21 hari untuk kebiasaan berkembang. Namun itu belum sepenuhnya benar.

Sebuah studi dilakukan oleh Dr Phillippa Lally, University College London, menemukan individu yang mencoba membentuk kebiasaan baru. Nilai yang dihasilkan seringkali bervariasi antara 18 sampai 254 hari, dengan rata-rata 66 hari. Hasil ini dicapai dengan metode laporan (di mana peserta diminta untuk menilai tindakan barunya, berdasarkan apakah mereka merasa menyukai sifat kedua atau tidak).

Artinya, kebiasaan baru menjadi seperti sifat kedua bagi mereka. Mereka menyimpulkan 66 hari adalah rata-rata menyesuaikan kebiasaan baru untuk mereka. Sedangkan tiap individu berbeda. Beberapa orang bisa membangun kebiasaan dengan relatif cepat, sementara yang lain mungkin harus menunggu lama agar suatu kebiasaan terbentuk. Kuncinya adalah mengulangi perilaku yang sama. Dalam hal melanggar kebiasaan, tidak ada konsensus mengenai berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kebiasaan yang tidak diinginkan.

Seperti yang dinyatakan di poin pertama, bahwa kita tidak dapat menghentikan kebiasaan secara langsung. Sebagai gantinya, kita dapat mengalahkannya dengan memberi alternatif yang sehat dan mengembangkan kebiasaan yang lebih kuat dan lebih produktif. Itulah yang ingin kita lakukan.

6.ย  Jangan panik jika kembali tergelincir

Tak pelak, sesekali kita bisa jatuh kembali ke kebiasaan lama kita. Kita bahkan tidak akan menyadarinya sampai hal itu terlewatkan. Yang penting adalah apa yang kita lakukan setelah menyadari kesalahan kita.

Bagi banyak orang, mereka cenderung berpikir ketika kembali tergelincir ke kebiasaan lama, hancur sudah semua upaya. Kacau, dan harus memulai lagi dari awal. Pandangan yang seperti ini keliru. Kita perlu memaafkan diri sendiri saat melakukan kesalahan, kita hanyalah manusia.

Seperti studi yang ditunjukkan di atas, Dr Phillippa Lally juga menyatakan bahwa mengubah habit berarti konsisten saat membentuk kebiasaan baru. Kehilangan kesempatan untuk menjalani kebiasaan baru tidak kemudian berpengaruh pada proses perubahan secara signifikan. Namun tidak konsisten adalah penyebab kegagalan bagi kita. Jadi ingat, kalau terjatuh, jangan khawatir. Kembalilah, dan lepaskanlah kesalahan itu, lalu tetaplah maju. Jangan lupa untuk meminta pengampunan dan kekuatan.

Pada akhirnya, sementara ini adalah panduan pembentukan dan perubahan kebiasaan. Tidak ada satu ukuran pun yang sesuai untuk semua. Semua orang unik; kita belajar dan beradaptasi dengan cara yang berbeda, sehingga mengikuti langkah sederhana ini dapat menjamin sebagian dari kita, dan mungkin tidak berlaku bagi yang lain.

Terkadang, kita harus mundur selangkah dan mencoba strategi alternatif sebanyak-banyaknya. Namun kita tidak akan tahu sampai kita mencobanya. Saran saya adalah memulai dan memperbaiki kebiasaan kita secara perlahan. Maka mari katakan bismillah dan mulailah perjalanan.

 

Artikel ini diterjemahkan bebas dari judul asli “Changing Undesired habits” terbitan Productive Muslim, dengan penambahan secukupnya. Diterjemahkan sebagai nasihat pribadi dan kurang lebihnya moga bermanfaat untuk sesama. Allahu a’lam bis showab.

Posted in Coretan, Opini

Catatan Bengkel Belajar

Pahami Kelebihan dan Kekurangan Kita

Jika membahas trik dalam belajar, maka di sini ana tidak bisa memberikan pendapat akurat dengan data-data yang mendukung. Hanya saja mari sama-sama kita pahami di mana kelebihan dan kekurangan kita. Yang semoga berawal dari pemahaman ini, kita bisa lebih mengerti bagaimana belajar efektif menurut masing-masing kita.

Misalnya ana sulit menghafal sebelum paham makna yang dihafal. Maka jauh hari sebelum masuk hari ujian ana sudah harus memahami semua yang dipelajari. Lalu memulai menghafal sekitar tiga atau dua hari sebelum hari ujian. *mohon maaf kalau ternyata ini terlalu mendadak ๐Ÿ˜€

Kemudian ana lemah di hafalan, maka ana sediakan waktu lebih untuk mengulang-ulang hafalan. Kadang kalau sudah terjebak dalam situasi mendadak atau sistem kebut semalam, ana mengandalkan pemahaman dan menjawab soal ujian dengan taโ€™bir sendiri. Tapi catatan untuk point ini, usahakan minimal kita hafal mufrodat (dalam point yang mau dihafal) yang baru kita fahami artinya. Itu akan membantu menyesuaikan taโ€™bir kita, in syaaAllah.

Pada intinya kita kembali ke masing-masing diri kita, mana yang harus dimaksimalkan, dan mana yang bisa disampingkan. Sehingga kita tidak berlarut dalam kebingungan โ€œHarus belajar dari mana?โ€, โ€œBagaimana belajarnya?โ€ dan segala pertanyaan-pertanyaan resah lainnya yang justru memakan banyak waktu kita untuk memulai belajar. In syaaAllah jika kita sudah mengenali kelebihan kekurangan kita, atau lebih tepatnya gaya belajar kita, sebanyak apa pun bab yang diujikan, setebal apa pun muqorror yang kita pelajari tidak menjadi berat bagi kita.

Ini untuk muqoddimah aja, temen-temen. ๐Ÿ˜€

Untuk lebih real-nya, mungkin akan ana sampaikan beberapa trik belajar secara umum yang semoga bermanfaat untuk teman-teman sekalian.

Trik Belajar Ala-Ala

Pertama, jangan biarkan diri kita belajar dalam keadaan banyak pikiran. Fokuskan pikiran dan luruskan niat. Belajar sebentar tapi fokus lebih baik daripada belajar berjam-jam tapi pikiran ke mana-mana. Fokus di sini tidak berarti harus sendiri. Lagi-lagi kembalikan ke bagaimana model belajar kita. Sendiri kalo pikiran jalan-jalan juga pelajaran sulit masuk. Belajar bareng-bareng tapi fokus bahas pelajaran akan jauh lebih efektif daripada belajar kelompok tapi dikit-dikit buka HP dan ketinggalan apa yang dibahas temen-temen.

Kedua, jaga kedekatan dan ketergantungan kita sama Allah. โ€œWattaqullah, wa yuโ€™allimukumullahโ€. Minta ilmu kepada Yang punya, minta pemahaman kepada Yang mengajarkan Nabi-Nya melalui makhluk mulia Jibril. Minta kekuatan hafalan dari Yang menjaga ilmu dan Al Qurโ€™an hingga akhir zaman. In syaaAllah pemahaman yang seperti ini sudah dikuasai mahasiswa/i LIPIA, ya. Aamiin.

Ketiga, membuat dan mempelajari ringkasan. Percayalah membuat ringkasan tidak berakhir penyesalan, in syaaAllah. Ana pribadi bukan mahasiswa yang terbiasa belajar dengan ringkasan. Tapi ana tetap meyakini dengan meringkas, itu menjadi satu cara kita belajar. Karena di dalamnya ada kegiatan membaca, memahami, menulis, dan meninjau ulang ringkasan, yang tanpa sadar membuat kita menghafal poin-poin yang kita pelajari. Begitu pun mempelajari ringkasan teman. Sulit jika kita hanya tergantung dengan ringkasan yang tersedia dan menghafal. Nantinya kita akan mudah lupa. Tapi jika kita mencocokkan ringkasan teman dengan kitab, maka lagi-lagi tanpa sadar kita membaca dan mengetahui poin-poin yang dipelari. ๐Ÿ˜€

Keempat, jangan salahkan kondisi kita yang katanya sibuk. Amanah datang ke kita karena Allah tahu kita bisa. Yang harus dikurangi dari mahasiswa aktivis bukan jam belajarnya, bukan jam masuk kuliahnya, bukan jam mengerjakan tadribat-nya, bukan jam ibadahnya. Tapi yang harusnya dikurangi adalah jam istirahatnya. Selalu ingat janji Allah bagi siapa yang menolong agama-Nya, akan Allah tolong urusan-urusannya. Harusnya dengan berorganisasi, penyandaran kita ke Allah jauh lebih kuat. Keyakinan kita akan pertolongan Allah jauh lebih melekat. Tapi mungkin kita sering salah sangka, mengharap pertolongan-Nya tapi terlalu asik mengurusi amanah organisasi dan tidak belajar. Bersandar ke Allah tapi masih setengah-setengah berusaha. Yakinlah teman-teman, jika kita luruskan niat kuliah dan berorganisasi, tidak ada yang tak teratur dalam belajar dan tugas kita. Pandai-pandai memanfaatkan waktu.

Kelima dan yang terakhir berkaitan dengan pembagian waktu antara belajar dan amanah organisasi. Sebetulnya ini kembali ke bagaimana habit kita. Hanya saja di sini kita harus lebih menyadari pentingnya waktu. Lima menit saja bisa kita gunakan untuk baca muqorror. Coba bagi-bagi per jam. Dua jam harus fokus belajar. Sejam fokus depan laptop buat laporan, dan sebagainya. Mungkin bisa juga jadikan waktu shalat patokan kita. Sehabis shubuh untuk baca sekian halaman muqorror, habis zuhur mempelajari tamrinat, habis ashar buka grup tertentu untuk ngurus tugas kita, habis maghrib rehat jiwa dan ruhani, habis isya 30 menit buka grup lagi, setelahnya belajar. Kira-kira begitu, temen-temen.

 

Sangat banyak kekurangan dalam ungkapan tulisan ini. Jika didapati baiknya datangnya dari Allah, jika ada salahnya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Bit Taufiiq ๐Ÿ™‚

Posted in Coretan, Renungan

Sebening Aynaย 

Sebuah ulasan Novel Best Seller Bidadari Bermata Bening karya Habiburrahman El Shirazy.

Seperti Fathimah, semasa santrinya, Ayna menjadi khadimah Bu Nyai di pesantren. Bangun di saat yang lain masih terlelap demi menyiapkan sahur atau sarapan santriwati. Pergi berbelanja kebutuhan dapur hingga kebutuhan pribadi Bu Nyai. Kadang Ayna juga mengajak cucu Bu Nyai agar mau mengerjakan tugas sekolahnya dengan senang hati. Hingga sesekali menggantikan Kang Bardi mencuci pakaian Gus Afif, putra kedua Bu Nyai yang diam-diam Ayna kagumi. 

Seperti Aisyah, meskipun memegang amanah sebagai khadimah, di akhir masa sekolahnya, Ayna mendapat nilai UN tertinggi bidang IPS se-Provinsi Jawa Tengah, dan tertinggi nomor sepuluh tingkat nasional. Tidak berakhir di situ, selulus pesantren, hidup Ayna penuh ujian dan cobaan. Ujian keluarga, cinta, harta, seakan ombak yang terus bergantian menerpa pijakan Ayna. Tapi cara pandang dan keyakinanannya akan takdir Allah begitu menguat menambah kejelitaannya. 

Seperti Asiyah, menjaga kesucian adalah hal yang paling utama bagi Ayna. Pernikahannya (bisa dikatakan secara paksa) dengan Yoyok tidak kemudian meruntuhkan kemuliaan Ayna. Bagaimana bisa, seorang gadis jelita lulusan terbaik pesantren menikah dengan putra salah satu orang terkaya di Kabupaten Grobogan, sekaligus biangnya kemungkaran di Purwodadi? Begitu pandangan tetangga-tetangga Ayna. Namun Ayna punya cara tersendiri melaluinya. Bukankah doa-doa Asiyah terabadikan dalam Al Quran meskipun ia seorang istri Fir’aun? 

Seperti Khadijah, ujian demi ujian yang Ayna hadapi mengantarkan ia kepada Bu Rosidah, Direktur perusahaan ternama di Bogor. Perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan kebugaran dan kesehatan, memiliki dua puluh lima cabang di sepuluh kota besar Indonesia. Ayna meneguk ilmu dan pengalaman bisnis langsung dari mata airnya. Hingga Ayna berhasil mendirikian perusahaan roti dan rumah peduli anak jalanan yang dinamai Bayt Ibnu Sabil. 

Jika di Ayat-Ayat Cinta penulis menciptakan tokoh ideal laki-laki bernama Fahri, maka di Bidadari Bermata Bening kita temui sosok muslimah ideal dalam diri Ayna. Keempat perempuan mulia yang Nabi sabdakan kelak menjadi sebaik penghuni Surga. 

โ€œSebaik-baik wanita penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah istri Firโ€™aun.โ€ (HR Ahmad)

Yang sempurna dari kaum lelaki sangatlah banyak, tetapi yang sempurna dari kaum wanita hanyalah Maryam binti Imran, Asiyah binti muzahim, Khadijah binti khuwailid dan Fatimah binti Muhammad. Sedangkan keutamaan Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid (roti yang diremukkan dan direndam dalam kuah) atas segala makanan yang ada.โ€ (HR Bukhari)

Saya tidak berhobi membaca novel. Namun di satu kesempatan, saya merasa butuh mengkaji ulang bagaimana wanita-wanita mulia bisa meneguhkan hatinya dari berbagai cobaan. Penjagaan hati yang merapuh, kemanfaatan yang memudar, kejelitaan etika yang mengeruh, membuat pribadi ini tenggelam dari cahaya kesholihahan. Dan benar, terkadang cerita fiksi menjadi satu cara yang ampuh tuk menggambarkan fakta. Realita yang sebetulnya bernafas lama di kehidupan kita. Tapi diri sering tidak sadar karena menganggapnya hal biasa. 

Ditambah, novel ini saya dapatkan secara gratis, alhamdulillah ๐Ÿ˜

Bidadari Bermata Bening tidak hanya menjadi motivasi, tapi penulis juga mampu memasukkan beberapa hukum-hukum fiqh dengan apik dalam alur ceritanya. Seperti contoh siapa yang berhak menjadi wali dalam pernikahan, bagaimana muamalah dengan kerabat yang bertentangan, dan yang terpenting, bagaimana meneguhkan penjagaan dan hati yang saling mencintai. 

Semoga keberkahan melimpah bagi penulis Bidadari Bermata Bening, pembaca, pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan dan pendistribusian, serta siapa pun yang mau mengambil ibroh darinya. Juga untuk segenap sholihaat di mana pun berada, semoga kita menjadi Bidadari dunia dan Surga. 

Posted in Coretan, Kisah

Berawal dari DND

EditTepatnya tahun 2014 silam, seorang pemuda selulus SMA baru saja menginjakkan langkah juangnya di kehidupan nyata. Ya, kehidupan yang tantangannya tak habis-habis. Kehidupan dengan cobaan yang tak sesederhana masa belajarnya di pesantren dulu.

Kata Ibu, ketahuilah Nak, hakikatnya kamu belum lulus. Ujian sesungguhnya ada di kehidupan luar sana. Keluarlah. Merantaulah. Teguk terus ilmu-ilmu-Nya. Amalkan apa-apa yang kamu dapat.

Namun tidak semudah itu. Entah (mungkin ini yang dimaksud ibu ujian sesungguhnya) cita-cita yang dulu sempat terangkai kala itu pudar tak berkabar. Energi kehambaan pada Allah juga kian meluruh sedikit demi sedikit. Padahal sering kali dosen mengingatkan, untuk apa kuliah di jurusan syariah jika tidak berjuang menegakkannya? Ngapain jauh-jauh ke ibukota kalau tujuannya cuma mencari gelar? Kalian mendapat ilmu secara gratis (red. beasiswa), maka bagikan ilmu-ilmu itu dengan gratis pula.

Dakwah. Menjadi satu kata yang menyibukkan pikiran si pemuda kala itu. Dia ingin berdakwah. Dia ingin berkontribusi lebih untuk perbaikan umat ini. Dia ingin belajar banyak tentang perjuangan-perjuangan mukmin terdahulu. Dia ingin menjadi satu rantai dari rantai kebermanfaatan. Dia ingin menjadi penggenggam tongkat estafet pengabdian untuk agama ini.

Maka berawal dari DND, ia belajar bahwa kekuatan dakwah terletak pada kebersamaan dan kesatuan. Sebab apa? Dengan saling bergandeng ia tak mudah jatuh karena kerikil-kerikil tantangan yang acap kali membuat ragu โ€˜tuk melangkah. Dengan saling berangkulan tugas dakwah ‘kan terasa lebih ringan.

Dan boleh saja disampaikan, dari DND pemuda itu bertemu sahabat-sahabat yang menyejukkan. Kehadirannya memberi semangat, kepergiannya meninggalkan rindu. Berkumpulnya membawa manfaat, berpisahnya merajutkan doa-doa.

Maka berawal dari DND, ia mengerti bahwa dakwah beragam cara kerjanya. Bahwa Allah titipkan amanah sesuai kemampuan hamba-hamba-Nya. Si pemuda yang miliki kebiasaan menulis, mulai terlatih ‘tuk menyampaikan gagasan-gagasan melalui rangkaian katanya.

Atau kawan yang lain dengan kecakapan bicaranya, sering kali kemudian diminta mengisi acara sana-sini. Tak tertinggal dengan siapa pun dan keahlian apa pun yang dimiliki, bermula dari DND ia menemukan, percaya dan lebih yakin akan kemampuan dirinya.

Maka berawal dari DND, pemuda itu memahami bahwa dakwah hakikatnya perbaikan diri sendiri. Bagaimana sebuah teko mampu memenuhi secangkir gelas jika tak ada isinya? Apa yang mau disampaikan jika hati dan pikiran kosong dari keihsanan dan pengetahuan?

Bermula dari DND, ia terus belajar dan belajar. Belajar bagaimana menjadi dai yang dirindu umat. Menjadi dai yang memahami, bukan menghakimi. Dai yang menuntun, bukan menuntut. Dai yang menyampaikan hikmah, bukan pembawa masalah. Dai yang tak merasa bejasa, namun kerjanya nyata. Dai yang berpegang teguh bahwa Rasulullah tak menyuruh kita menyelesaikan tugas dakwah ini, tapi Rasulullah mengajak untuk syahid di jalannya. Dengan begitu, ia siapkan regenerasi agar kiranya ada tangan-tangan tangguh yang siap menerima estafet amal mulia ini.

Maka siapakah gerangan?

Pemuda itu termenung. Baru di sini ia menyadari. Apa-apa yang ia pelajari dan pahami dari DND, adalah apa-apa yang pernah disampaikan sebelumnya. Maklumat itu bukan sesuatu yang baru. Hanya saja, ia merasa lebih hidup dari sebelumnya.

Salam santun. ๐Ÿ™‚

Note:

1. DND adalah singkatan dari Dauroh Nukhbatid Du’aat yang diselenggarakan LDK Al Fatih LIPIA setiap semesternya

2. Coretan lawas yang ditulis setahun silam, dalam masa penantian cetak buku di gambar (Sekokoh Kata Ukhuwah) karya DNDR.

Buku yang lahir dari persaudaraan, dirawat dengan kepercayaan, hingga tiba masa purnanya, ia tumbuh bersama kekokohan

Posted in Coretan, Renungan

Ada Titipan di Setiap Rezeki Kitaย 

Seorang Ayah dianugerahi gaji bulanan sebesar 30 juta. Profesinya sebagai asisten manajer salah satu kapal wisata memberikannya kesempatan tuk menghidupkan istri dan anaknya dengan baik. Penghasilan yang ia dapat lebih dari cukup.

Tapi sayang ia mengira gaji besar itu untuk dia seorang. Dia yang lelah bekerja keras, dia juga yang berhak menghabiskan uangnya untuk apa saja. Lupa, bahwa di belakangnya ada tanggung jawab menafkahi istri dan anak-anak. Tega, menempatkan hatinya pada kesenangan lain dan meninggalkan keluarga.

Mahaadil Allah, sesungguhnya hukuman-hukuman di dunia ini bukan sama sekali menandakan Tuhan jahat. Tapi sebaliknya, Mahasayang Ia pada hamba-hamba-Nya yang baik, bahkan mengangkat batas antara doa dan pengabulannya jika mereka yang baik tersakiti. Bukankah seorang guru tidak diam saja melihat murid yang mengganggu temannya? 


“Pantaskah Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? Atau pantaskah Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang jahat?”
(QS. Shad: 28)

Maka tak lama setelah menjauh-hindari keluarganya, Ayah tersebut kehilangan pekerjaan. Kandas semua harta. Enyah semua rasa bangga. Tertambah beban batin yang tak lagi terakui oleh keluarga. Hasil gaji yang ia dapatkan habis tuk bersenang-senang. 

Ada titipan di setiap rezeki kita. Bagi seorang ayah atau suami, jelas sudah Allah lebihkan ia atas keluarganya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka telah menafkahkan harta mereka.” (QS. Annisa: 34)

“Memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami,” jelas Ibnu Hajar Al Asqolani, “sehingga ia bisa memberikan sedekah kepada orang lain setelah mencukupi nafkah keluarganya.” 

Ada titipan di setiap rezeki kita. Mungkin bersama uang sangu yang kita dapat dari orang tua atau beasiswa, ada rezeki adik-adik pemulung di stasiun kota. Mungkin bersama uang hadiah juara atau hasil usaha, ada rezeki oleh-oleh untuk keluarga dan donasi korban kemanusiaan dunia. Seberapa pun uang yang sampai di tangan kita, mungkin ada sebagian persennya tuk kita bagikan kepada sesama. 

Dari sini juga kita lebih menyadari esensi rezeki, bahwa ia tak hanya merupa uang, tapi juga keringanan berbagi dengan rasa lapang. Bukan sekadar berjumlah rupiah, tapi juga kegigihan tuk senantiasa bersedekah. 

Iman, waktu luang, saudara sholihin-sholihaat, pasangan dan anak yang qonitin-qonitaat, nikmat sehat, semua, adalah rezeki yang tak kan pernah bisa terhitung. Maka menyalurkan sebagiannya merupa syukur yang indah. 

“Dan terhadap nikmat Rabb-Mu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)” 

(QS. Adh Dhuha: 11)