Posted in Artikel, Opini, Syariah

Cuma Dua Peran Dakwah

Telah dikisahkan dalam surat Yasin, ketika Allah mengutus dua orang utusan pada suatu kaum, kaum tersebut mendustakannya. Lalu Allah kuatkan lagi dengan utusan ketiga. Namun nihil, mereka justru membangkang dan berkata, “Kalian hanyalah manusia seperti kami, Allah tidak menurunkan suatu apa pun, kalian hanyalah pendusta belaka.”

Kemudian datang seorang laki-laki dari ujung kota dan berkata, “Wahai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang-orang yang tidak meminta imbalan kepada kalian.

Mendengar dukungan itu, apakah lantas membuat kaum tersebut memercayai utusan mereka?

Ternyata tidak. Dalam tafsir Al Qurthubi diceritakan bahwa kaum tersebut justru berusaha membunuh laki-laki itu. Dan demi Allah, tidaklah ruh laki-laki itu keluar dari jasadnya melainkan pintu Jannah yang terbuka untuknya.

Dari kisah ini kita belajar, dalam dakwah, ada penyampai dakwah (utusan Allah), ada pendukung utusan Allah. Dari rangkaian ayat ini Allah menunjukkan bagaimana seorang pendukung dakwah ternyata punya resiko yang cukup besar sebagaimana penyampai dakwah. Wala‘ atau pembelaan kita terhadap sesuatu yang akan menentukan kemana kita pulang.

Maka tidak heran ketika kita melihat fenomena memasang bendera bertuliskan kalimat tauhid, atau orasi menggunakan kata jihad, atau menulis mengkritisi kerja para pemimpin, akan dicap begitu saja sebagai pegiat terorisme.

Maka jika dakwah hanya menawarkan dua peran, penyampai atau pendukung, di manakah kita berdiri? Mungkin gagasan kita belum sekuat para ulama, kita belum punya ilmu dan wawasan yang cukup untuk menyampaikan ajaran rahmatan lil ‘aalamiin. Tapi tidak kemudian membuat kita bungkam dan tak berperan. Kita masih bisa mendukung gagasan-gagasan para du’aat dengan potensi yang Allah modalkan kepada kita.

Jika dakwah hanya menawarkan dua peran, penyampai dan pendukung, maka tidak ada pilihan ketiga atau yang lain. Tidak ada pilihan untuk tak peduli, lari, atau berdiam diri.

Wallahu ta’aalaa a’lam.

Leave a comment