Posted in Coretan, Renungan

Mendidik Keinginan

Jauhilah dari kita rasa ingin berlebihan. Sebab keinginan sering kali bertolak jauh dari kesyukuran. Keinginan pula yang perlahan menodai hati kita ketika melihat kenikmatan tak sampai-sampai kepada kita.

Gagasan di atas saya sadari ketika ngobrol santai bersama suami. Tiba-tiba beliau bilang, “Dek, mas kan guru, ya. Gajinya ga banyak…,” saya seketika diam.

Mas tuh sering mikir, pengen ngasih adek uang lebih buat tambahan. Kira-kira harus ngapain ya, biar ga gini-gini terus….”

Pada saat itu pula saya belum bisa berkata-kata. Menahan haru. Nggak nyangka kalo suami kepikiran begitu. Langsung saja saya jawab jujur, “Adek kan nikah sama mas karena mas guruu,” lalu kita berdua hanyut dalam keterharuan dan air mata. *Lebay sekali ya! :’D

Dari dialog sederhana itu saya teringat keinginan-keinginan yang sempat terlintas. Teringat juga tentang cerita-cerita saya yang tanpa sadar mungkin membuat suami kepikiran. Semuanya semakin mengundang tangis saya berjatuhan. Betapa banyaknya keinginan duniawi kita, betapa sempitnya kita mendefinisikan makna bahagia, betapa rapuhnya mata hati kita menyadari dan menjaga nikmat-nikmat yang sudah ada.

Padahal, semua kebutuhan rumah tangga baik primer pun sekunder sudah suami berikan. Dari kebutuhan hingga hiburan juga sudah suami sediakan. Bahkan hampir setiap hari saya bisa jajan. :’)

Jadi merasa capek sendiri ketika kita terus berkeinginan materi.

Untuk itulah saya menulis pesan ini kepada diri saya sendiri, seorang laki-laki yang mencintaimu tak selalu harus memberi apa yang kamu mau. Dan percayalah cinta yang tulus akan berjuang mati-matian untuk membahagiakan, merawat, menumbuhkan orang yang dicintainya.

Perempuan memang menyukai hal-hal materiil. Mulailah didik keinginan kita, mulailah ajak diri sendiri tuk lapang merelakan hal sementara demi mencapai yang esensial. Percayalah semakin menua kita semakin harus banyak berkorban. Tentu bukan pengorbanan biasa, melainkan pengorbanan yang kelak mengumpulkan kita bersama orang tersayang.

Sometimes we make dua for a door of the dunya. When it doesn’t open, we cry. Not realizeing that Allah has instead opened a door of Jannah for us” (Yasmin Mogahed)

Leave a comment