Posted in Artikel, Syariah

5 Pilar Menuju Menang

Berangkat dari pinta keseharian kita, “Ihdinash shiraathal mustaqiim”. Ya Rabb, tunjukkanlah jalan lurus itu.

Manusia terkadang lupa. Ia meminta, namun masih bertanya hakikat apa yang diminta. Ia berharap, tapi tak mengerti upaya apa agar mampu meraih harapannya. Ia mengaku cinta, sayang tidak mengenal siapa dan apa yang dicintainya, bahkan bingung bagaimana mengungkapkan cintanya.

Dari sini Allah menjelaskan pada ayat selanjutnya, “Shiraathal ladziina an’amta ‘alihim”. Yaitu jalan yang Engkau beri nikmat kepadanya. Siapa? Berkata Al Maraghi dalam tafsirnya, “Adalah para Nabi, shiddiqiin, dan shalihin yang terdiri dari umat terdahulu”.

Lalu kita mencoba meneropong, apa sebenarnya yang dilakukan para pendahulu sehingga Allah menjadikan satu ayat doa bagi kita, agar senantiasa meminta petunjuk jejak mereka?

Kemudian langkah bertanya-tanya, ke mana ia akan menapakkan kakinya demi menjaga keutuhan agama ini? Bagaimana ia harus berjalan menjemput janji kemenangan, sedang di sekeliling bertabur duri fitnah di mana-mana?

Berikut lima garis besar yang semoga bisa menjadi awal gerbang kita menyongsong kembali kegemilangan.

1. Tetaplah Belajar
Allah tidak begitu saja memerintahkan Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam mengemban risalah ini. Melainkan ada Jibril yang senantiasa mengajarkan. Begitu pula pada Musa yang terpandang ilmunya, masih Allah hadirkan Khidir menemani perjalanan Musa untuk belajar dan bersabar.

Lihatlah kembali bagaimana Allah memuji para ahli ilmu dengan menyusul penyebutannya setelah persaksian Allah, “Allah menyatakan bahwa tidak ada Rabb selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada Rabb selain Dia, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Ada banyak ilmu dasar untuk memahami agama ini. Sayang kita mungkin masih belum tertarik mempelajarinya, bahkan membaca saja enggan. Mengira pelajaran yang bersangkutan dengan Islam itu terlalu serius, menghadiri kajian khawatir dianggap ikutan aliran macam-macam oleh tetangga. Kita terkadang sukanya instan, tanya sama ustad atau googling ketika ada perkara. Tidak masalah, sebetulnya. Namun yang demikian seharusnya menjadi penunjang saja.

Sedang kita upayakan ‘tuk rutin membaca dan menggali ilmu-ilmu pokok dari kajian, kampus, atau orang-orang terpercaya kita. Bagaimana kita bisa menjaga Islam jika enggan mendalami ajaran-ajaran darinya? Bagaimana ia kerap mulia jika bertubi-tubi tuduhan, kita tak mampu membenahinya.

2. Tetaplah Berdakwah
Inilah tugas utama para rasul. Inilah jalan mereka. Ibrahim, Nuh, Musa, Isa, Muhammad, semua terkisah cerita perjuangan dakwahnya dalam Al Qur’an.

Ya Rabb, sesungguhnya aku telah menyeru (mendakwahkan) kaumku malam dan siang.” (QS. Nuh: 5)

Alih-alih siang-malam, kita seringkali terlalu asik dengan aktifitas keseharian di siang hari. Dan ketika malam tiba, daya sudah tak kuasa. Berawal dari sini, ada baiknya kita coba meraba, adakah aktifitas keseharian berpengaruh untuk kebaikan agama? Apakah waktu-waktu kita berjalan dengan menghadirkan manfaat untuk umat, atau berleha-leha saja menjalani nasib apa adanya? Kita boleh mencoba menyisihkan beberapa jam untuk mengerahkan pikiran atau tenaga kita kepada permasalahan umat.

Mengikuti rapat kecil-kecilan di Mushola atau Masjid terdekat, misalnya. Atau menyampaikan sepatah dua patah kalimat kepada anak, suami/istri, sahabat yang mengandung nasihat.

3. Tetaplah pada Jalur Iqomatuddin
Agama ini sudah kokoh, sebenarnya. Hanya kita sebagai penganut belum pandai menjaga, sehingga ketika gelombang syubhat menenggelamkannya, yang terlihat dari permukaan adalah bengkok.

Ada tiga hal yang mengantarkan kita pada jalur ini. Pertama, rapatkan barisan dalam jama’ah. Kita tahu, Allah mengecualikan orang-orang yang tidak merugi adalah mereka yang saling menasihati pada kebenaran dan kesabaran. Bagaimana hal itu bisa dilakukan jika kita tidak berjamaah?

Kalau bingung harus berafiliasi ke jama’ah mana, maka melangkah ke cara kedua, bergabunglah dengan aktifitas sosial. Karena dengan terjun ke sosial, setiap hari akan ada waktu-waktu yang kita habiskan untuk kepedulian, kemanfaatan, dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Jika untuk beraktifitas sudah terbilang sulit. Sudah tidak sekuat masa muda, misalnya. Maka berangkat ketiga atau jalan terakhir, yaitu mendoakan dengan setulus-ikhlas doa. Ini ajaib. Orang yang begitu mengimani bahwa Allah Maha Mengijabahi, Penolong, apalagi mampu merasakan kenyamanan lahir batin dalam sujud, sesungguhnya ia telah menemukan kebahagiaan hakiki. Berapa banyak, doa-doa orang sholih serta air matanya yang tumpah di keheningan malam, mampu membuka pintu-pintu kemenangan? Kita butuh jiwa-jiwa ikhlas.

4. Tetaplah Bekerja
Jika dengan belajar kita menggali makna, maka dengan bekerja kita berkarya nyata. Allah telah menganjurkan dalam ayat-Nya, “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 10)

Yang menjadi masalah, terkadang kita tidak perhatian terhadap hasil apa dari pekerjaan kita, sebagaimana nubuwwahnya shallallahu ‘alaihi was sallam,

“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli apa yang dia ambil, apakah dari hasil yang halal atau yang haram.” (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa’i)

Kemudian Allah berfirman, “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al Maidah: 88)

Sebab dalam kesungguhan mencari nafkah, ada kemuliaan nan kehormatan di dalamnya. Dan dalam rezeki yang halal lagi baik, ada keberkahan meliputinya.

5. Menjadi Teladan dalam Keluarga
Sebagaimana kisah Ya’qub dalam Al Qur’an, di penghujung hidupnya, Ya’qub menyempatkan diri bertanya kepada putra-putranya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?

Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Rabb Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (QS. Al Baqoroh: 133)

Dikatakan dalam tafsir Al Maraghi, maksud Ya’qub bertanya ini ialah membaiat anak-anaknya agar mereka tetap teguh pada pendiriannya di dalam Islam, ajaran tauhid dan segala perbuatan hanya karena Allah serta mengharap ridho-Nya.

Lalu mengapa di sana anak-anak Ya’qub menjawabnya dengan rentetan nama para pendahulu mereka? Kenapa tidak cukup saja mengatakan, “Kami menyembah Allah dan kami berserah diri kepada-Nya”?

Inilah teladan dari sisi keluarga yang dicontohkan para Nabi. Bagaimana Ibrahim berhasil menjadi teladan bagi Ismail dan Ishak, bagaimana Ya’qub menjadi panutan bagi putra-putranya. Pada ayat ini juga menjelaskan bahwa agama Allah itu tetap satu. Dalam ajaran Nabi mana pun, intinya adalah tauhid.

Pada keseharian bisa kita perhatikan, mana anak yang berkata, “ Ustadz, kata Ayahku begini dan begitu” lebih menyenangkan ketimbang anak-anak yang berkata kepada Ibunya, “Tapi kata Ustadzahku begini dan begitu”. Mau menjadi yang mana? Hehe.

Maka keluarga adalah umat terkecil yang perlu kita jaga keselamatannya. Semoga dari baiknya keluarga, berkembang pula kepada saudara, tetangga, hingga bagaimana Allah melimpahkan rahmat-Nya atas kemenangan.

Setelah sama-sama mengingat lima langkah apa saja yang (semoga) mengantar kita pada shiraathal mustaqiim, kita kembali kepada penggalan surat Al Fatihah. Tentu kita berharap agar Allah teguhkan kaki-kaki kita menelusuri jalan tersebut. Menuntun tapaknya agar tak berbelok, menguatkan pijaknya agar atsar yang ditinggalkan menuai manfaat sebanyak-banyaknya.

Mungkin ini pula, mengapa Allah ajarkan kalimat “ihdina” yang berarti “berilah kami petunjuk/hidayah”. Bukan “allimna”, atau “arrifna” yang berarti “ajarkanlah kepada kami”.

Sebab sebagaimana yang dicantumkan dalam tafsir, hidayah juga berupa ma’unah (pertolongan) dan taufiiq, artinya kekuatan yang memotivasi berbuat kebaikan. Maa syaaAllah.

Maka yang kita pinta setiap harinya itu bukan sekadar meminta kearifan atau petunjuk. Tapi juga kekuatan agar senantiasa berbuat kebaikan sesuai petunjuk.

Semoga benang-benang upaya kita berada dalam rajutan yang diridhoi-Nya. Sehingga mewujud bendera yang ‘kan kita kibarkan sesuai janji-Nya; menang.

Note: catatan ini terisnspirasi dari gagasan yang disampaikan pada Kajian Akhir Zaman, dengan penambahan yang sekiranya perlu dari penulis. Allahu ta’aala a’lam bish showab. Astaghfirullaha wa atuubu ilaih.
Salam perjuangan,

|| Jakarta, 290417

Posted in Artikel, Kisah

Al Qur’an dan Napas Nusantara 

Indonesia bukan bangsa yang seketika merdeka. Ada pergolakan melawan dominasi dan kesewenangan kolonial Belanda, yang jika sejarahnya kembali diteropong, banyak perlawanan yang dimotori para tokoh negara, ulama dan santri, serta kaum pembelajar. Hal yang demikian menjadi sebab mereka mempunyai ruh juang yang tinggi;  memerdekakan Indonesia dari kuasa kafir. Yang demikian itu disebut dalam agama islam sebagai bentuk jihad. Melepasbebaskan Tanah Air dari kebengisan penjajah nan zalim adalah darah dan nyawa taruhannya.

.

Sebutlah Pangeran Diponegoro. Ia syahid saat meninggalkan Al-quran yang  ditulis ulang oleh tangan pengikutnya dengan pena berlidi aren. Yang kelak adanya (Al-quran) pelan-pelan mengajarkan ilmu Allah di masyarakat sekitar. Dikisahkan pula julukan ‘Ibu Suci’ bagi Cut Nyak Dien kala Belanda mengasingkannya ke tanah Sumedang. Ya, warga Sumedang kala itu memanggilnya ‘Ibu Suci’ karena Ibunda Perjuangan ini konon tamat menghapal Al Quran. 

.

Pertempuran bulan November 1945 di Surabaya yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari yang disebut revolusi jihad, mengerahkan seluruh pesantren dan para santri yang ada waktu itu untuk bertindak. Terkisah pada waktu itu, kalangan santri merupakan bagian terbesar dalam barisan pemuda revolusioner. Apa pedoman para santri hingga gigih menjunjung perjuangan bela Indonesia? Al-quran.

.

Maka, jika hari ini ada yang berkata masyarakat Indonesia dibohongi dengan ayat Al-quran, hukum saja! Alquran sejatinya sudah digunakan sebagai pedoman hidup dari dulu.

.

Sejarah kembali mencatat prestasi-prestasi ulama Nusantara. Kita kenal Tafsir Annur karangan Prof. Dr. Tengku Muhammad Hasbi asal Aceh, Mahmud Yunus dari Minangkabau, Tafsir Al Azhar karya  Buya Hamka; pemikir muslim progresif dari tanah Sumatra. Bertumpuk karya yang lagi-lagi mengajarkan bangsanya untuk mempelajari dan mengambil keutamaan serta memuliakan Al-quran.

.


Maka, jika hari ini ada yang berpikir Al-quran bisa membohongi masyarakat Indonesia, hukum saja! Al-quran sejatinya sudah digunakan sebagai pedoman hidup dari dulu.

.

Pernah tingkat buta baca Al-quran warga Indonesia mencapai 56%. Namun hal demikian tidak dibiarkan lama begitu saja. Selalu ada, dan selalu hadir ide-ide serta terobosan untuk menanggulangi hal itu. Maka, di tahun 1988, istilah Taman Kanak-kanak Al-quran (TKA) dan Taman Pendidikan Al-quran (TPA) rasanya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Metode Iqro KH. As’ad Humam begitu membantu para pelajar membaca Al-quran.

.


Lalu, jika hari ini kamu diam ketika Al-quran dianggap membohongi masyarakat, tanyakan pada hatimu, apakah kehadirannya belum memenuhi di relung hati mereka.

Kita mengenal KH. Ahmad Dahlan sebagai Menteri Agama RI periode 1967-1971. Tindakan apa yang beliau hadiahkan agar anak-anak dan remaja Indonesia semakin mencintai Al-quran? Jika Agustus kemarin baru saja diadakan MTQ Nasional XXVI di NTB, maka beliaulah pemrakasa perdana penyelenggaraan MTQN tersebut. Yang kemudian bersama para ulama lainnya membangun Yayasan Ihya Ulumuddin dan bercabang Pendidikan Tinggi Ilmu Al-quran (PTIQ).

.

Lalu jika hari ini Al-quran dipandang nista, siapa yang berani menutup mata dari sejarah Al-quran di Indonesia? Mungkin ia belum benar-benar mencintai Indonesia.

.

Hafidz Indonesia, adalah program acara televisi terbaik yang belum lama ini sukses meningkatkan antusias para orang tua ‘tuk fokus mendidik anak menghafal Al-quran sejak usia dini. One Day One Juz (ODOJ), adalah komunitas dengan massa puluhan ribuannya yang tengah merancang agenda Akbar Olimpiade Pecinta Quran. Menghadirkan jiwa-jiwa semangat semarakkan Al-quran di Tanah Air. Aceh hingga Papua, semua turut berkontribusi.

.

Maka, jika hari ini muslim Nusantara kembali bergolak hatinya atas penghinaan Al-quran, mengerahkan upaya tindakan ataupun perkataan ‘tuk melawan kesemenaan, itulah bukti hidupnya iman dan ghiroh di hati.


Maka, jika hari ini Al-quran ternodai dengan ucapan atau kelakuan para kafir, sungguh dengannyalah Nusantara bernapas. Sesungguhnya ia tetap mulia. Sesungguhnya ia selalu terjaga.

“Sesungguhnya  Kami-lah yang  menurunkan  Al-quran,  dan sesungguhnya Kami benar-benar  memeliharanya.” (Al Hijr: 9)

.

Tulisan ini juga dimuat di  <a href=”https://www.islampos.com/al-quran-dan-napas-nusantara-313223/&#8221; target=”_blank”>https://www.islampos.com/al-quran-dan-napas-nusantara-313223/</a&gt; dengan judul yang berbeda

.

Salam Santun 🙂